Selasa subuh aku terbangun. "Masih jam 3.40? Cepat sekali aku bangun!" gumamku dalam hati. Aku pun langsung menuju kamar mandi tuk cuci muka. Rencana ke stasiun Jebres juga ku tunda dulu, "Masih terlalu awal pikirku!" Kemudian kubuka laptopku sembari menunggu waktu yang tepat menuju stasiun.
Pukul 5 tepat aku pun bergegas. Ku angkat sepedaku dari tangga belakang. Tangga belakang lebih mudah bagiku. Ukurannya lebih lebar jadi lebih enak saat menjinjing sepeda lipatku. Jumlah anak tangganya juga tidak terlalu banyak, jadi lebih cepat juga untuk turun ke bawah buat ku.
Ku kayuh sepedaku menuju stasiun. "Hmm... Loket buka pukul 07.00 sekarang masih pukul 5.10. Kelamaan juga ntar antrinya ya.!" pikiran itu muncul saat aku sampai di SPBU yang hanya berjarak 150 meter dari stasiun. Aku pun mengayuh sepedaku menuju pasar Gedhe. Ini pertama kalinya aku ke situ.
Sesampainya di pasar Gedhe, dari luar, kulihat kesibukan aktivitas pagi yang biasanya terjadi di pasar-pasar lokal di seluruh Indonesia. Buah-buahan segar tampak terkemas rapi dalam kardus, karung, dan juga rang-rang (karung jaring). Para buruh tampak melakukan kegiatan bongkar muat dari kendaraan pick-up dan juga truk menuju ke kios-kios pemilik buah-buahan tersebut. Dari luar juga ku lihat para pembeli dan penjual melakukan transaksi di dalam kios. Tampak uang pecahan Rp. 100.000, Rp. 50.000, diserahterimakan dalam transaksi tersebut.
Yang membuatku terkagum pada pasar ini adalah kebersihannya. Ya, Solo memang terkenal dengan tempat-tempat umumnya yang bersih. Dan itu terlihat nyata di pasar Gedhe. Emang terlihat beberapa potong sampah. Namun jika dibandingkan dengan pasar-pasar tradisional lainnya di kota lain, hal itu sama sekali tak ada artinya. Aku sendiri sudah melihat sendiri bagaimana pasar-pasar tradisional di Jakarta, Bekasi, Medan, Bandung, dan Sibolga. Becek, lalat di mana-mana, sampah yang berserakan, parkir yang semrawut, dan bau yang tidak sedap merupakan hal-hal yang akrab dengan pemandangan sehari-hari. Di pasar Gedhe, aku menjamin hal-hal seperti ini tidak akan ditemukan.
"Semuanya pasti betah di pasar ini!" gumamku. Tapi sayangnya pasar ini tampaknya adalah sebuah pasar induk kota Solo. Jadi hanya pedagang dan pedagang besar yang melakukan transaksi. Untuk masyarakat biasa bisa sich, tapi yang jelas mereka harus membeli dalam jumlah banyak alias persediaan buah/sayur dalam sebulan hahaha...
15 menit setelah keliling pasar aku pun bergegas menuju stasiun. Di pertigaan belokan ke stasiun, tepatnya di sebrang SPBU, ku lihat sebuah gerobak tukang bubur yang di kelilingi para pembelinya. "Hm... Sebenarnya aku sich tidak terlalu lapar. Namun melihat pembelinya lumayan ramai, aku pun akhirnya memutuskan untuk sarapan di situ. Bagiku sendiri, kalau pembelinya ramai, berarti rasanya disukai banyak orang.
Kulihat ada dua dandang (bahasa Batak, ga tau bahasa Indonesianya apa haha...) Satu sebagai wadah kacang ijo dan satunya lagi sebagai wadah ketan item. "Pak ketan item aja ya!" pesanku pada si Bapak pedagang bubur. Walau bubur kacang ijo punya banyak penggemar, bagiku ketan item lebih enak dan lebih nyaman di perut. Kuhabiskan buburku dan setelah itu aku langsung menuju stasiun.
Baru pukul 6 kurang, namun antrian sudah terlihat panjang. Orang-orang sudah terlihat berbaris sepanjang 6 meteran. Ku parkirkan sepedaku di parkiran motor. "Walau jumlah sepeda meningkat drastis, namun sepertinya pengolah parkir di tempat-tempat umum belum tergerak untuk menyediakan parkiran khusus sepeda." gumamku dalam hati.
Setelah sepedaku ku gembok, seorang petugas parkir mendatangiku.
"Seribu mas," katanya sembari menyerahkan sepotong karcis parkir.
"Lah ini kan buat motor mas," ucapku dengan nada tanya setelah membaca karcis parkir tersebut.
"Iya mas, yang buat sepedanya habis," balasnya.
Ku serahkan seribu rupiah dan langsung menuju barisan antrian paling belakang.
Baru beberapa menit antri, aku mendengar obrolan orang-orang di depanku. Mereka mengomeli kinerja PT. Kereta Api hanya karena sudah terlalu lama antri dan loketnya tak kunjung buka. Hampir semuanya obrolan terjadi dalam bahasa Jawa. Aku memahami, tapi tak semuanya.
Ibu yang di depanku sudah beberapa hari ingin mencari tiket menuju Subang. "Sekarang ini susah banget dapetin tiketnya Mas" katanya padaku. "Lah iya donk Bu!" jawabku. "Dengan harga tiket Rp. 37.000 sudah sampai Jakarta, siapa sich yang ga mau naik kreta ekonomi?" lanjutku sembari memberi alasan.
Aku pikir alasanku sudah cukup kuat. Sebagai perbandingan, ongkos kereta ekonomi Jogja - Jakarta hanya Rp. 35.000, sedangkan kreta bisnis paling murah (ongkos tergantung hari, libur sudah tentu lebih mahal) Rp. 150.000. Lebih dari empat kali lipat harganya.
Tiket yang sangat murah ini tentunya tidak hanya mampu menolong masyarakat ekonomi bawah, namun juga sangat menggoda mereka yang (sebenarnya) mampu membeli tiket kelas bisnis bahkan eksekutif. Hal ini sudah beberapa kali kulihat di kereta. Banyak dari penumpang kelas ekonomi yang menggunakan blackberry maupun handphone mahal lainnya. Beberapa dari mereka juga terlihat menggunakan tas, travel bag mahal. Dari pakaiannya juga hal ini dapat kita nilai.
"Jadi sebenarnya jarak antara ongkos kelas ekonomi dan kelas lainnya itu harus diatur lho Bu," kataku pada Ibu itu. "Jangan sampai ongkos kereta bisnis hampir 5 kali lipat dari ongkos kereta ekonomi".
"Iya juga ya mas", kata ibu itu menyetujuai pendapatku. "Makanya sekarang itu susah banget untuk mendapatkan tiket kereta ekonomi. Cepat banget habisnya. Yang lebih heran, lebih gampang beli tiketnya dari calo daripada dari loket!" lanjutnya.
Perkataan Ibu itu sebenarnya sudah merupakan rahasia umum, terlebih bagi penumpang kereta ekonomi. Betapa tidak, di sekitar loket juga tidak terlalu susah untuk menemukan calo. Mereka biasanya menawarkan harga tiket dengan kisaran 80 hingga 120 ribu. Lebih dari 2 hingga 3 kali lipat dari harga seharusnya. Dan hal inipun terbukti...
"Pak, pak... Tiket e ono. Hargane walu pulu ngewu untuk tanggal 20. (Pak pak.. Tiketnya ada. Harga 80 ribu untuk tanggal 20)." Ibu yang tadi antri di depanku mendatangi suaminya. Beberapa menit kemudian mereka keluar dari barisan antrian.
"Itu loh Bu yang buat calo itu tetap hidup", kataku pada Ibu yang dari tadi menemaniku ngobrol.
"Ya mau gimana lagi mas. Kalo orang dalamnya kerja sama ama calo, jatah tiket untuk masyarakat pasti sudah jauh berkurang." jawab si Ibu. "Tadi juga saya mau beli tiket dari calo tapi saya merasa bersalah entar! Tadi juga sempat mau minta tolong ama Bapak tukang becak yang di luar buat antre buat saya, Bapaknya minta 30 ribu. Menurut saya itu kemahalan. Kalo Bapaknya mau 10ribu, saya tadi sudah mau suruh Bapak itu yang antri" lanjutnya.
"Iya juga ya!" pikirku. Masyarakat sepenuhnya tidak bisa dipersalahkan kalau mereka membeli tiket dari calo, walaupun harganya cukup mahal. Lagian setelah ada kebijakan PT. KA untuk mengurangi jumlah gerbong kereta api untuk kereta PROGO dan BENGAWAN menjadi hanya 6 gerbong, mendapatkan tiket kereta ekonomi menjadi jauh lebih susah sekarang.
"Kok mereka gampang dapat tiketnya ya Pak?" tanyaku kemudian.
"Ya gampang toch mas, wong mereka sendiri kanca-kanca ne pegawai loket!"
Jawaban yang sangat masuk akal pikirku.
Pukul 7 kurang sedikit loket pun di buka. "Akhirnya..." aku pun bersyukur. Setelah sekian lama antri, senang rasanya melihat jumlah barisan berkurang.
Pukul 7.10 aku pun berada di depan loket. Langsung kuserahkan lembar isian pesanan tiketku ke petugas.
"Maaf Mas, tiketnya habis!" kata petugas.
"Kok bisa mbak? Baru berapa menit buka kok langsung habis?" pertanyaanku tak dijawab oleh petugas. "Kreta yang lain yang ke Jakarta gimana Mbak?" tanyaku kemudian.
"Sama mas, semua yang ke Jakarta sudah habis" jelasnya.
"Oalah..." ungkapku dengan kecewa. Aku pun meberitahukan kepada Ibu yang daritadi berbincang-bincang di antrian bersamaku. "Habis semua Bu!" kataku.
Si Ibu tadi pun mengomeli petugas loket yang bertugas. Begitu juga pembeli tiket yang sudah membentuk barisan sepanjang 3 meter di belakangku. Aku pun meninggalkan barisan yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan.
Seandainya tak ada calo dan tak ada pengurangan gerbong, aku yakin pasti semua penumpang dapat memperoleh tiket ekonomi. Ada baiknya harga tiket ekonomi dinaikkan. Jangan sampai jarak harga tiket ekonomi dan kelas lainnya terlalu besar. Ini hanya akan melestarikan praktik percaloan oleh PT. KAI itu sendiri.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengawasi calo di sekitar loket. Terlebih dengan keberadaan kamera di loket. Mudah-mudahan kamera itu difungsikan dengan baik oleh pihak PT. KAI. Bukan sekedar pajangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar