"Dalam melestarikan bahasa Batak, diperlukan kemauan semua pihak. Artinya masyarakat Batak juga harus membiasakan diri menggunakan bahasa Batak, di manapun mereka berada, tentu dengan orang Batak sendiri. Tidak terkecuali dalam acara formal, pendidikan dan pergaulan sehari-hari."
Bahasa adalah identitas. Demikian juga bahasa daerah adalah bagian yang integral dari kebudayaan, bahasa tentu memberikan andil dalam memperkaya kebudayaan nasional, termasuk memperkaya bahasa Indonesia.
Tetapi sekarang, banyak bahasa daerah di Indonesia yang
telah banyak punah. Di Sulawesi misalnya; dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa
terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11
sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Di Papua, dari 271 bahasa, 56
terancam punah. (Kompas, 23/03/07).
Malah menurut Tempo, secara keseluruhan ada 700 lainnya
terancam. Temuan ini didapat berdasarkan hasil penelitian para pakar bahasa
dari sejumlah perguruan tinggi. Menurut Kepala Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Dendy Sugiono, sepuluh bahasa daerah di Indonesia bagian
timu, yakni di Papua sebanyak 9 bahasa dan di Maluku Uatara 1 bahasa.
“Data yang kita kumpulkan daeri akademisi perguruan tinggi
menyebutkan ada 10 bahasa daerah yang telah punah. Lalu yang terancam punah ada
33 tersebar di Papua dan Maluku Utara 1 bahasa,” kata Dendy, sebagaimana
dikutip (Tempo, 4/9/07).
Sementara itu, pakar bahasa dari Universitas Negeri Sebelas
Maret (UNS) Solo, Prof. Dr. H. Edi Subroto menyatakan, dari hasil penelitian
yang dilakukan Jurusan Bahasa UNS menyebutkan, bahasa yang terancam punah bisa
mencapai 700 bahasa. “Dari hasil penelitian kami, jumlah bahasa daerah yang
rawan punah sangat banyak. Sedikitnya 700 bahasa daerah bisa punah dalam waktu
sesaat jika tidak ada upaya untuk merawatnya,” ungkapnya.
Apa penyebabnya? Menurut Edi, salah satu penyebab lunturnya
bahasa daerah, “Adalah fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing
ketimbang bahasa daerah. Mereka juga enggan menggunakan bahasa daerahnya untuk
komunkasih keseharian.”
Apakah bahasa Batak juga akan bernasib sama, mengingat di
kota-kota besar terutama di kalangan generasi muda?
Semangat berbahasa daerah pada generasi muda sekarang ini,
menggunakan bahasa Batak, dalam percakapan sehari-hari makin memudar. Dan,
kalau pun ada, yang menggunakan bahasa Batak itu juga tidak terlihat semangat
terhadap pelestarian bahasa Batak itu sendiri. Orang Batak itu sendiri sekarang
sudah banyak yang menganggap bahasa kampungan.
Apalagi muncul budaya baru yang diadopsi dalam pergaulan
anak muda kota. Membuat kaum muda Batak, umumnya di kota-kota, tidak bergairah
dan tidak mau tahu soal bahasa Batak. Ditambah lagi muncul film dan sinetron
yang bercerita tentang
budaya luar. Apa yang terjadi banyak anak muda berbahasa kebarat-baratan dan
meninggalkan bahasa ibunya.
Kalau kita menyadari bahasa Batak mengemban fungsinya
sebagai alat komunikasi, juga sebagai media pengembangan kebudayaan, tentu akan
lain ceritanya. Disadari atau tidak, jika hilang bahasa hilang juga budayanya.
Siapa yang salah? Patut diduga orangtua tidak memberikan
dorongan, mengajar anak-anaknya berbahasa Batak. Tidak dibiasakan menggunakan
Batak dalam rumah. Lalu, logat Batak yang kentara itu dianggap sebagai sebuah
kekolotan. Logat Batak tidak ada sangkut – pautnya dengan kekolotan.
Orang Batak sendirilah yang harus peduli dengan bahasanya. Pemerhati
Budaya dan Sastra, Suhery Sasmita mengatakan, masyrakat Batak harus
mempertahankan bahasa daerahnya. Jangan sampai dirambah oleh bahasa atau budaya
lain. Untuk itu diperlukan komitmen semua pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat Batak. Sebab bahasa Batak merupakan aset bangsa, sebagai produk
budaya.
Dalam melestarikan bahasa Batak, dibutuhkan kemauan semua
pihak. Artinya, masyrakat Batak juga harus membiasakan diri menggunakan bahasa
Batak, di mana pun mereka berada, tentu dengan orang Batak itu sendiri. Tidak terkecuali
dalam acara formal, perdagangan, pendidikan dan pergaulan sehari-hari.
Menjaga Lestari
Apa solusinya? Solusi terbaik adalah mengajari anak-anak
Batak yang lahir di kota, seperti di Jakarta untuk bela`jar bahasa `Batak. Peranan
orangtua dalam memperkenalkan bahasa Batak pada anaknya sejak usia dini. Orangtua
perlu menanamkan rasa cinta terhadap bahasa Batak, dan membiasakan anak
menggunakan bahasa Batak sejak belia.
Selain itu, dalam melestarikan bahasa Batak, hendaknya
pekerja seni, penulis, wartawan, dan budayawan, selalu terbeban menampilkan
karya daerah ayng menggunakan bahasa Batak untuk menjaga supaya bahasa Batak tidak punah. Tatkala penting
peran pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah Sumatera Utara harus memperlihatkan
keinginannya untuk memberikan ruang. Apalagi pemerintah Sumatera Utara tidak
pernah memberikan anggaran dalam upaya pelestarian bahasa Batak (di Sumatera
Utara jumlah orang Batak dari 6 etnis ada 41 persen). Pemerintah lupa, atau
barangkali sengaja mengabaikan.
Tidak itu saja, bahasa Batak mesti kembali dijadikan sebagai
bahasa pengantar resmi sekolah dasar hingga sekolah menengah umum. Misalnya,
kurikulum di sekolah, untuk mempertahan bahasa Batak. Ini penting digalakkan
lagi. Sebab dulu, belajar bahasa Batak adalah salah satu mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah. Sekarang tidak lagi.
Dan peran gereja pun penting untuk membantu mengajarkan
bahasa Batak, utamanya gereja Batak di sekola-sekolah minggu. Sebab bahasa
daerah sebagai penjaga budaya, perlu dijaga keberadaannya. Menggunakan bahasa
Batak bukanlah suatu tindakan yang ketinggalan jaman. Bahasa Batak adalah
identitas penting bagi kebudayaan itu sendiri. Menggunakan bahasa Indonesia,
sebagai orang Indonesia sejati, seharusnya tidak boleh menghilangkan penggunaan
bahasa daerah.
Keduanya, bahasa daearah dan bahasa Nasional itu bisa
digunakan untuk saling berkomunikasi, dan saling memperkaya. Naposobulung menggunakan
bahasa Indonesia, dan mengerti bahasa Batak untuk berkomunikasi. Artinya,
menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa orang yang berbudaya. Jika hal ini
terjadi bahasa Batak tidak akan hilang, tetapi terus lestari.
(Artikel ini saya ambil dari Joujou Pos Edisi 1, Juni 2012, ditulis oleh Hojot Marluga)