Laman

Sabtu, 26 Mei 2012

Sebentar Lagi Bahasa Batak Punah

"Dalam melestarikan bahasa Batak, diperlukan kemauan semua pihak. Artinya masyarakat Batak juga harus membiasakan diri menggunakan bahasa Batak, di manapun mereka berada, tentu dengan orang Batak sendiri. Tidak terkecuali dalam acara formal, pendidikan dan pergaulan sehari-hari."


Bahasa adalah identitas. Demikian juga bahasa daerah adalah bagian yang integral dari kebudayaan, bahasa tentu memberikan andil dalam memperkaya kebudayaan nasional, termasuk memperkaya bahasa Indonesia. 

Tetapi sekarang, banyak bahasa daerah di Indonesia yang telah banyak punah. Di Sulawesi misalnya; dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11 sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Di Papua, dari 271 bahasa, 56 terancam punah. (Kompas, 23/03/07).

Malah menurut Tempo, secara keseluruhan ada 700 lainnya terancam. Temuan ini didapat berdasarkan hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi. Menurut Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugiono, sepuluh bahasa daerah di Indonesia bagian timu, yakni di Papua sebanyak 9 bahasa dan di Maluku Uatara 1 bahasa.

“Data yang kita kumpulkan daeri akademisi perguruan tinggi menyebutkan ada 10 bahasa daerah yang telah punah. Lalu yang terancam punah ada 33 tersebar di Papua dan Maluku Utara 1 bahasa,” kata Dendy, sebagaimana dikutip (Tempo, 4/9/07).

Sementara itu, pakar bahasa dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof. Dr. H. Edi Subroto menyatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan Jurusan Bahasa UNS menyebutkan, bahasa yang terancam punah bisa mencapai 700 bahasa. “Dari hasil penelitian kami, jumlah bahasa daerah yang rawan punah sangat banyak. Sedikitnya 700 bahasa daerah bisa punah dalam waktu sesaat jika tidak ada upaya untuk merawatnya,” ungkapnya.

Apa penyebabnya? Menurut Edi, salah satu penyebab lunturnya bahasa daerah, “Adalah fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah. Mereka juga enggan menggunakan bahasa daerahnya untuk komunkasih keseharian.”

Apakah bahasa Batak juga akan bernasib sama, mengingat di kota-kota besar terutama di kalangan generasi muda?

Semangat berbahasa daerah pada generasi muda sekarang ini, menggunakan bahasa Batak, dalam percakapan sehari-hari makin memudar. Dan, kalau pun ada, yang menggunakan bahasa Batak itu juga tidak terlihat semangat terhadap pelestarian bahasa Batak itu sendiri. Orang Batak itu sendiri sekarang sudah banyak yang menganggap bahasa kampungan.

Apalagi muncul budaya baru yang diadopsi dalam pergaulan anak muda kota. Membuat kaum muda Batak, umumnya di kota-kota, tidak bergairah dan tidak mau tahu soal bahasa Batak. Ditambah lagi muncul film dan sinetron yang bercerita                tentang budaya luar. Apa yang terjadi banyak anak muda berbahasa kebarat-baratan dan meninggalkan bahasa ibunya.

Kalau kita menyadari bahasa Batak mengemban fungsinya sebagai alat komunikasi, juga sebagai media pengembangan kebudayaan, tentu akan lain ceritanya. Disadari atau tidak, jika hilang bahasa hilang juga budayanya.

Siapa yang salah? Patut diduga orangtua tidak memberikan dorongan, mengajar anak-anaknya berbahasa Batak. Tidak dibiasakan menggunakan Batak dalam rumah. Lalu, logat Batak yang kentara itu dianggap sebagai sebuah kekolotan. Logat Batak tidak ada sangkut – pautnya dengan kekolotan.

Orang Batak sendirilah yang harus peduli dengan bahasanya. Pemerhati Budaya dan Sastra, Suhery Sasmita mengatakan, masyrakat Batak harus mempertahankan bahasa daerahnya. Jangan sampai dirambah oleh bahasa atau budaya lain. Untuk itu diperlukan komitmen semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat Batak. Sebab bahasa Batak merupakan aset bangsa, sebagai produk budaya.

Dalam melestarikan bahasa Batak, dibutuhkan kemauan semua pihak. Artinya, masyrakat Batak juga harus membiasakan diri menggunakan bahasa Batak, di mana pun mereka berada, tentu dengan orang Batak itu sendiri. Tidak terkecuali dalam acara formal, perdagangan, pendidikan dan pergaulan sehari-hari.


Menjaga Lestari

Apa solusinya? Solusi terbaik adalah mengajari anak-anak Batak yang lahir di kota, seperti di Jakarta untuk bela`jar bahasa `Batak. Peranan orangtua dalam memperkenalkan bahasa Batak pada anaknya sejak usia dini. Orangtua perlu menanamkan rasa cinta terhadap bahasa Batak, dan membiasakan anak menggunakan bahasa Batak sejak belia.

Selain itu, dalam melestarikan bahasa Batak, hendaknya pekerja seni, penulis, wartawan, dan budayawan, selalu terbeban menampilkan karya daerah ayng menggunakan bahasa Batak untuk menjaga  supaya bahasa Batak tidak punah. Tatkala penting peran pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah Sumatera Utara harus memperlihatkan keinginannya untuk memberikan ruang. Apalagi pemerintah Sumatera Utara tidak pernah memberikan anggaran dalam upaya pelestarian bahasa Batak (di Sumatera Utara jumlah orang Batak dari 6 etnis ada 41 persen). Pemerintah lupa, atau barangkali sengaja mengabaikan.

Tidak itu saja, bahasa Batak mesti kembali dijadikan sebagai bahasa pengantar resmi sekolah dasar hingga sekolah menengah umum. Misalnya, kurikulum di sekolah, untuk mempertahan bahasa Batak. Ini penting digalakkan lagi. Sebab dulu, belajar bahasa Batak adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sekarang tidak lagi.

Dan peran gereja pun penting untuk membantu mengajarkan bahasa Batak, utamanya gereja Batak di sekola-sekolah minggu. Sebab bahasa daerah sebagai penjaga budaya, perlu dijaga keberadaannya. Menggunakan bahasa Batak bukanlah suatu tindakan yang ketinggalan jaman. Bahasa Batak adalah identitas penting bagi kebudayaan itu sendiri. Menggunakan bahasa Indonesia, sebagai orang Indonesia sejati, seharusnya tidak boleh menghilangkan penggunaan bahasa daerah.

Keduanya, bahasa daearah dan bahasa Nasional itu bisa digunakan untuk saling berkomunikasi, dan saling memperkaya. Naposobulung menggunakan bahasa Indonesia, dan mengerti bahasa Batak untuk berkomunikasi. Artinya, menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa orang yang berbudaya. Jika hal ini terjadi bahasa Batak tidak akan hilang, tetapi terus lestari.


(Artikel ini saya ambil dari Joujou Pos Edisi 1, Juni 2012, ditulis oleh Hojot Marluga)

Jumat, 18 Mei 2012

Antri Tiket di Loket Jebres

Selasa subuh aku terbangun. "Masih jam 3.40? Cepat sekali aku bangun!" gumamku dalam hati. Aku pun langsung menuju kamar mandi tuk cuci muka. Rencana ke stasiun Jebres juga ku tunda dulu, "Masih terlalu awal pikirku!" Kemudian kubuka laptopku sembari menunggu waktu yang tepat menuju stasiun. 

Pukul 5 tepat aku pun bergegas. Ku angkat sepedaku dari tangga belakang. Tangga belakang lebih mudah bagiku. Ukurannya lebih lebar jadi lebih enak saat menjinjing sepeda lipatku. Jumlah anak tangganya juga tidak terlalu banyak, jadi lebih cepat juga untuk turun ke bawah buat ku. 

Ku kayuh sepedaku menuju stasiun. "Hmm... Loket buka pukul 07.00 sekarang masih pukul 5.10. Kelamaan juga ntar antrinya ya.!" pikiran itu muncul saat aku sampai di SPBU yang hanya berjarak 150 meter dari stasiun. Aku pun mengayuh sepedaku menuju pasar Gedhe. Ini pertama kalinya aku ke situ.

Sesampainya di pasar Gedhe, dari luar, kulihat kesibukan aktivitas pagi yang biasanya terjadi di pasar-pasar lokal di seluruh Indonesia. Buah-buahan segar tampak terkemas rapi dalam kardus, karung, dan juga rang-rang (karung jaring). Para buruh tampak melakukan kegiatan bongkar muat dari kendaraan pick-up dan juga truk menuju ke kios-kios pemilik buah-buahan tersebut. Dari luar juga ku lihat  para pembeli dan penjual melakukan transaksi di dalam kios. Tampak uang pecahan Rp. 100.000, Rp. 50.000, diserahterimakan dalam transaksi tersebut. 

Yang membuatku terkagum pada pasar ini adalah kebersihannya. Ya, Solo memang terkenal dengan tempat-tempat umumnya yang bersih. Dan itu terlihat nyata di pasar Gedhe. Emang terlihat beberapa potong sampah. Namun jika dibandingkan dengan pasar-pasar tradisional lainnya di kota lain, hal itu sama sekali tak ada artinya. Aku sendiri sudah melihat sendiri bagaimana pasar-pasar tradisional di Jakarta, Bekasi, Medan, Bandung, dan Sibolga. Becek, lalat di mana-mana, sampah yang berserakan, parkir yang semrawut, dan bau yang tidak sedap merupakan hal-hal yang akrab dengan pemandangan sehari-hari. Di pasar Gedhe, aku menjamin hal-hal seperti ini tidak akan ditemukan. 

"Semuanya pasti betah di pasar ini!" gumamku. Tapi sayangnya pasar ini tampaknya adalah sebuah pasar induk kota Solo. Jadi hanya pedagang dan pedagang besar yang melakukan transaksi. Untuk masyarakat biasa bisa sich, tapi yang jelas mereka harus membeli dalam jumlah banyak alias persediaan buah/sayur dalam sebulan hahaha...

15 menit setelah keliling pasar aku pun bergegas menuju stasiun. Di pertigaan belokan ke stasiun, tepatnya di sebrang SPBU, ku lihat sebuah gerobak tukang bubur yang di kelilingi para pembelinya. "Hm... Sebenarnya aku sich tidak terlalu lapar. Namun melihat pembelinya lumayan ramai, aku pun akhirnya memutuskan untuk sarapan di situ. Bagiku sendiri, kalau pembelinya ramai, berarti rasanya disukai banyak orang.

Kulihat ada dua dandang (bahasa Batak, ga tau bahasa Indonesianya apa haha...) Satu sebagai wadah kacang ijo dan satunya lagi sebagai wadah ketan item. "Pak ketan item aja ya!" pesanku pada si Bapak pedagang bubur. Walau bubur kacang ijo punya banyak penggemar, bagiku ketan item lebih enak dan lebih nyaman di perut. Kuhabiskan buburku dan setelah itu aku langsung menuju stasiun.

Baru pukul 6 kurang, namun antrian sudah terlihat panjang. Orang-orang sudah terlihat berbaris sepanjang 6 meteran. Ku parkirkan sepedaku di parkiran motor. "Walau jumlah sepeda meningkat drastis, namun sepertinya pengolah parkir di tempat-tempat umum belum tergerak untuk menyediakan parkiran khusus sepeda." gumamku dalam hati.

Setelah sepedaku ku gembok, seorang petugas parkir mendatangiku. 
"Seribu mas," katanya sembari menyerahkan sepotong karcis parkir. 
"Lah ini kan buat motor mas," ucapku dengan nada tanya setelah membaca karcis parkir tersebut.
"Iya mas, yang buat sepedanya habis," balasnya.
Ku serahkan seribu rupiah dan langsung menuju barisan antrian paling belakang. 

Baru beberapa menit antri, aku mendengar obrolan orang-orang di depanku. Mereka mengomeli kinerja PT. Kereta Api hanya karena sudah terlalu lama antri dan loketnya tak kunjung buka. Hampir semuanya obrolan terjadi dalam bahasa Jawa. Aku memahami, tapi tak semuanya. 

Ibu yang di depanku sudah beberapa hari ingin mencari tiket menuju Subang. "Sekarang ini susah banget dapetin tiketnya Mas" katanya padaku. "Lah iya donk Bu!" jawabku. "Dengan harga tiket Rp. 37.000 sudah sampai Jakarta, siapa sich yang ga mau naik kreta ekonomi?" lanjutku sembari memberi alasan. 

Aku pikir alasanku sudah cukup kuat. Sebagai perbandingan, ongkos kereta ekonomi Jogja - Jakarta hanya Rp. 35.000, sedangkan kreta bisnis paling murah (ongkos tergantung hari, libur sudah tentu lebih mahal) Rp. 150.000. Lebih dari empat kali lipat harganya.  Tiket yang sangat murah ini tentunya tidak hanya mampu menolong masyarakat ekonomi bawah, namun juga sangat menggoda mereka yang (sebenarnya) mampu membeli tiket kelas bisnis bahkan eksekutif. Hal ini sudah beberapa kali kulihat di kereta. Banyak dari penumpang kelas ekonomi yang menggunakan blackberry maupun handphone mahal lainnya. Beberapa dari mereka juga terlihat menggunakan tas, travel bag mahal. Dari pakaiannya juga hal ini dapat kita nilai. 

"Jadi sebenarnya jarak antara ongkos kelas ekonomi dan kelas lainnya itu harus diatur lho Bu," kataku pada Ibu itu. "Jangan sampai ongkos kereta bisnis hampir 5 kali lipat dari ongkos kereta ekonomi".
"Iya juga ya mas", kata ibu itu menyetujuai pendapatku. "Makanya sekarang itu susah banget untuk mendapatkan tiket kereta ekonomi. Cepat banget habisnya. Yang lebih heran, lebih gampang beli tiketnya dari calo daripada dari loket!" lanjutnya.

Perkataan Ibu itu sebenarnya sudah merupakan rahasia umum, terlebih bagi penumpang kereta ekonomi. Betapa tidak, di sekitar loket juga tidak terlalu susah untuk menemukan calo. Mereka biasanya menawarkan harga tiket dengan kisaran 80 hingga 120 ribu. Lebih dari 2 hingga 3 kali lipat dari harga seharusnya. Dan hal inipun terbukti...

"Pak, pak... Tiket e ono. Hargane walu pulu ngewu untuk tanggal 20. (Pak pak.. Tiketnya ada. Harga 80 ribu untuk tanggal 20)." Ibu yang tadi antri di depanku mendatangi suaminya. Beberapa menit kemudian mereka keluar dari barisan antrian. 

"Itu loh Bu yang buat calo itu tetap hidup", kataku pada Ibu yang dari tadi menemaniku ngobrol.
"Ya mau gimana lagi mas. Kalo orang dalamnya kerja sama ama calo, jatah tiket untuk masyarakat pasti sudah jauh berkurang." jawab si Ibu. "Tadi juga saya mau beli tiket dari calo tapi saya merasa bersalah entar! Tadi juga sempat mau minta tolong ama Bapak tukang becak yang di luar buat antre buat saya, Bapaknya minta 30 ribu. Menurut saya itu kemahalan. Kalo Bapaknya mau 10ribu, saya tadi sudah mau suruh Bapak itu yang antri" lanjutnya. 

"Iya juga ya!" pikirku. Masyarakat sepenuhnya tidak bisa dipersalahkan kalau mereka membeli tiket dari calo, walaupun harganya cukup mahal. Lagian setelah ada kebijakan PT. KA untuk mengurangi jumlah gerbong kereta api untuk kereta PROGO dan BENGAWAN menjadi hanya 6 gerbong, mendapatkan tiket kereta ekonomi menjadi jauh lebih susah sekarang. 





















Jam dinding yang berada di atas loket sudah menunjukkan pukul 06.45. "15 menit lagi!" kataku dalam hati sambil mengambil posisi berdiri setelah sekian lama. "Itu yang paling depan biasanya para calo mas!  Liat aja tampang mereka!" kata seorang Bapak padaku. "Iya juga ya pikirku!"
"Kok mereka gampang dapat tiketnya ya Pak?" tanyaku kemudian.
"Ya gampang toch mas, wong mereka sendiri kanca-kanca ne pegawai loket!"
Jawaban yang sangat masuk akal pikirku.

Pukul 7 kurang sedikit loket pun di buka. "Akhirnya..." aku pun bersyukur. Setelah sekian lama antri, senang rasanya melihat jumlah barisan berkurang.

Pukul 7.10 aku pun berada di depan loket. Langsung kuserahkan lembar isian pesanan tiketku ke petugas.
"Maaf Mas, tiketnya habis!" kata petugas.
"Kok bisa mbak? Baru berapa menit buka kok langsung habis?" pertanyaanku tak dijawab oleh petugas. "Kreta yang lain yang ke Jakarta gimana Mbak?" tanyaku kemudian.
"Sama mas, semua yang ke Jakarta sudah habis" jelasnya.
"Oalah..." ungkapku dengan kecewa. Aku pun meberitahukan kepada Ibu yang daritadi berbincang-bincang di antrian bersamaku. "Habis semua Bu!" kataku.

Si Ibu tadi pun mengomeli petugas loket yang bertugas. Begitu juga pembeli tiket yang sudah membentuk barisan sepanjang 3 meter di belakangku. Aku pun meninggalkan barisan yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan.

Seandainya tak ada calo dan tak ada pengurangan gerbong, aku yakin pasti semua penumpang dapat memperoleh tiket ekonomi. Ada baiknya harga tiket ekonomi dinaikkan. Jangan sampai jarak harga tiket ekonomi dan kelas lainnya terlalu besar. Ini hanya akan melestarikan praktik percaloan oleh PT. KAI itu sendiri.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengawasi calo di sekitar loket. Terlebih dengan keberadaan kamera di loket. Mudah-mudahan kamera itu difungsikan dengan baik oleh pihak PT. KAI. Bukan sekedar pajangan.

Rabu, 16 Mei 2012

Ribetnya melakukan penarikan tunai di BRI Slamet Riyadi Solo


Kejadian di BRI Slamet Riyadi (siang 15 Mei) kemarin sungguh menjengkalkanku. Mereka berhasil membuatku kesal dan marah.

Aku harus melakukan penarikan tunai secara manual di Bank BRI. Soalnya uang buat kuliah itu besarnya lebih dari limit penarikan ATM BRI harian (Rp. 5juta). Bersama appara Bob aku pun diantarkan ke BRI kantor cabang Slamet Riyadi. 

Aku sebelumnya tak tahu apabila melakukan penarikan tunai manual itu harus disertakan/membawa KTP yang digunakan sewaktu pembukaan rekening. Itulah hal yang diberitahukan kepadaku oleh seorang staff. Kebetulan KTP ku ketinggalan di Jogja dan untuk beberapa hari ini aku tidak mungkin untuk kembali ke Jogja.

Aku pun menanyakan apakah SIM dapat juga digunakan sebagai penggantinya. Jawabannya TIDAK. Aku pun heran dan kebingunan. Uang itu aku sangat perlukan dan mendesak untuk digunakan. Aku pun kembali bertanya kepada Satpam yang berdiri di depan pintu. Jawabannya sama.

Mendengar jawaban ini aku pun merasa jengkel. Bagaimana tidak. Wajah yang ada di SIM kan sama dengan wajah yang ada di KTP. Begitu juga dengan data-data yang lainnya. Kejengkelan pun bertambah saat aku membaca KETENTUAN UMUM SIMPEDES BRI yang tertera di belakang buku tabungan. Di bagian B. Penyetoran dan Pengambilan tak tertera ketentuan seperti ini. Kulanjutkan dengan memandangi ruangan dalam bank, khususnya di sekitar meja formulir. Tak ada keterangan yang menyebutkan demikian. Aku pun menyinggung masalah ini kepada staff tersebut. "Maaf Pak, ketentuannya sudah begitu?" Aku pun bertambah heran. "Ketentuan teller, karyawan, atau siapa?" Aku pun keluar dari bank sambil mengungkapkan kekesalan dan kemarahanku.

Selasa, 15 Mei 2012

15 Mei 2012

Sejak Minggu malam aku berusaha memejamkan mataku. Namun tak bisa juga. Kupilih untuk mengepakin barang-barangku yang akan kutitip ke susteran. Hasilnya semuanya bisa disusun ke dalam 4 wadah. Kardus 1 buah, Koper, tas, dan plastik berisi pemasak air, setrika dan ceret. Tak terasa sudah subuh. Namun aku tak juga dapat memejamkan mata. Akibatnya rencana meninggalkan jogja pun batal. Untungnya sekitar pukul 6 aku bisa tidur.

Pukul 12 aku terbangun. Ku ambil hape q. Ada sms dari Raya temanku. 
"Woi Batak, ntar lagi aku ke kosmu ya. 1 jam lagi" tampak kalimatnya dalam layar hape ku.
"Ok. Datang aja!" balas ku.

Segera ku bergegas ke kamar mandi. Sikat gigi, sabunan, keramas dan cuci muka ku selesaikan dalam waktu 10 menit. Setelah berpakaian rasa ngantuk kembali melandaku. Tak tahu kenapa. Aku pun merebahkan badanku di kasur. Antara sadar tak tak sadar tiba-tiba Raya masuk ke kamarku. 

Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, aku pun mengajak Raya untuk membantuku mengantarkanku barang-barangku ke Susteran. Mumpung lagi ada motor (Vario yang dibawa dia ke kosku). 

Sebenarnya aku ingin semuanya sekali antar. Tapi Raya bilang dua kali aja. Biar gampang bawanya. Sesampainya di Susteran aku minta tolong Raya untuk membunyikan bel. Sesaat kemudian Sr. Martha keluar.
"Suster aku mau nitip barang2ku sementara di sini boleh ya! Soalnya ga bisa sekali angkut semua ke Solo. Ga ada motor lagi. Besok subuh sudah berangkat ke Solo." kataku dengan nada sopan pada Sr. Martha. 
"Oh, besok jadi ke Solonya? Yauda mari sini masukin barang-barangnya", jawab Sr. Martha sambil menghantarkanku ke tempat penyimpanan barang. 

Setelah menghantarkan barang-barang yang pertama kami pun kembali ke kos untuk mengambil sisa barang. Namun sebelumnya kami singgah di burjo dekat kosku untuk makan siang. Sesampainya di Susteran, kembali Sr. Martha yang membukakan pintu. Aku pun memasukkan barang2ku ke dalam. Tak lupa kutitipkan sebagian baju-bajuku untuk di bawakan Sr. Yolanda ke Solo. "Terimakasih banyak ya Suster, doain biar cepat dapat kerja di Solo. Salam buat semuanya juga..." Si Suster pun mengiyakan dan sedikit bertanya-tanya tentang rencanaku selanjutnya. Akhirnya semua selsesai dan kami pun beranjak dari susteran.

Sempat bingung mau jalan - jalan kemana, aku pun akhirnya mengusulkan dan meminta untuk bermain menemui itokku, Defy Situmanggor. Defy sudah meng-sms aku sejak dua hari yang lalu dan mengatakan kalau dia sudah berada di Jogja. Sebenarnya aku sama sekali tidak mengingatnya walau dia mengatakan bahwa dia merupakan Anggota Legio Maria di Sarudik dulu (sewaktu aku menjadi wakil ketuanya di sana). 

Setelah bersms-an akhirnya pun kami berjumpa. Oleh rekomendasi abangnya dan juga yang lainnya, dia memilih untuk tinggal di Wisma Bukit Barisan. Namun sayangnya tinggal di wisma seperti itu tidaklah seenjoy tinggal di kos-kosan biasa. Si itok juga bercerita sebenarnya dia tidak tahan pada awal-awal kedatangannya di sini. Dan itu pun terjadi hingga sekarang. Mendengar ceritanya itu, aku jadi teringat masa-masa pertama kali aku sampai di Jogja. Dan yang lebih kasiannya lagi, dia belum pergi ke mana-mana, hanya di kamar. Owh... seandainya aku punya motor dia pasti sudah ku bawa jalan-jalan. Ya mau gak mau aku jadinya berbagi kisahku supaya si itok itu juga gak terlalu sedih. 

Obrolan hampir sejam di burjo pun berakhir. Ku salam itokku dan kami pun berangkat menuju kosku. Namun sebelumnya kami maen ke tempat bang Okta. Jadi senang rasanya lihat si Raya jatuh cinta ama buku-buku si Octa. Dan lebih senang lagi aku saat bang Okta bersedia meminjamkan buku-bukunya buat Raya.

Pukul 9 Malam kami pun bubar. Si Ray langsung balik ke kosnya dan aku langsung berjalan kaki menuju kosku. Beberapa menit kemudian aku pun langsung tertidur di atas kasur ku yang lapuk. Tidurku lumayan nyenyak. Namun tiba-tiba aku terbangun lagi pada pukul 12 malam lewat. Sial pikirku...!!! Aku pasti ga bisa tidur lagi nech!!!

Dan terbukti. Berulang kali kucoba memejamkan mataku. Tak kunjung aku bisa tidur. Akhirnya kususun barang-barangku. Tiba-tiba kulihat barbel milik Andre. Kemudian kuputuskan untuk menitipkannya bersamaan barang2ku yang lainnya ke kosan bang Okta. Semalam juga helmku sudah kutitipkan padanya. 

Pukul 4 pagi lewat sedikit aku pun mengisi perutku ke burjo. Maklum kemaren kan cuma makan sekali. Kupesan semangkuk Indomie telur dan nasi putih. Selesai makan aku pun langsung menemui Bapak dan Ibu kos. "Pak makasih buat semuanya ya. Saya pergi sekarang. Mau ngejar kereta yang subuh." aku pamit sambil menyalami mereka. "Ok mas. Makasih juga ya, hati-hati". 

Aku pun berangkat dengan sepedaku. Tasku yang sangat berat membuat sepedaku rada kempes. Sambil mengayuh, aku pun berusaha meringankan beratku. Sesampainya di stasiun maguwo, aku pun langsung mengangkat sepedaku. Sambil menunggu kereta berangkat aku berlari menuju toilet. Setelah pipis langsung ku lipat sepedaku dan Kereta Pramex pun tiba. 

Sejam kemudian kereta tiba di stasiun Balapan. Asik aku menunggu, lalu rasa heran muncul. Kenapa kereta ini ga berangkat juga menuju stasiun Jebres ya? Beberapa detik sebelum kereta kembali berangkat menuju Jogja kutanyakan pada salah seorang penumpang apakah kereta ini singgah di Jebres atau tidak. "Oh, nggak mas. Kalo yang jam segini stasiun yang terakhirnya ya di Balapan." Jawabannya membuatku kaget. Dengan tergesa-gesa aku mengangkut sepedaku keluar dari kereta sambil mengucapkan terimakasih kepada mas tersebut.

Kupasang sepedaku. Ternyata jalan menuju jebres lumayan melelahkan. Punggung yang memikul tas berat terasa sangat membebani diriku. Namun akhirnya ku sampai juga dkos baru. Ku ambil barang-barangku dari kosan Bob. Kurapi-rapikan kamarku hingga pukul 10 lebih. Rasa lelah akhirnya terbayar dengan makan siang pukul 11 bersama Bob...

Minggu, 13 Mei 2012

Minggu 13 Mei 2012

Lelah rasanya badan ini hingga tak kuasaku menahan kantuk. Aku pun tertidur pukul 9malam tepat. Dan lagi... Aku heran kenapa aku terbangun 3jam kemudian. Hal seperti inilah yang aku benci. Jikalau sudah terbangun seperti ini pasti ku susah lagi tuk tidur.

Ku buka laptopku, sewaktu asik menikmati kumpulan cerpen dari kompasiana.com aku pun teringat akan barang - barang yang aku akan angkut ke Solo pagi ini. Yang jelas cermin dan galon Aqua harus bisa dibawa. Cermin memang tidak terlalu penting tapi bukanlah hal mudah untuk meminta tolong kepada teman untuk membawakannya. Sedangkan galon harus dibawa. Maklum, aku kan orangnya kuat minum. Jadi tidak mungkin  aku meninggalkan wadah air yang satu ini.

Kubongkar kembali koper dan travel bag sandangku. Ku pilah-pilah semua apa yang bisa ku bawa. Semuanya dengan tujuan untuk dapat membawa barang sebanyak mungkin biar besok tinggal membawa sepeda dan ransel ku... Akhirnya semua dapat kulakukan.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Sudah berulang kali kucoba memejamkan mataku namun usahaku tampaknya sia - sia. "Dasar insomnia kurang ajar!" gumamku dengan kesal dalam hati. Akhirnya aku pun memilih untuk bermain dengan laptopku. Ku buka detik.com, kompas.com, dan tempo.co. Berita tentang perkembangan terkini dari kasus kecelakaan pesawat Sukhoi masih mewarnai semua media online tersebut. Sedih rasanya melihat suasana yang ada, terutama dari para keluarga korban. Semoga semuanya dapat diberikan kekuatan. Semoga juga para tim SAR dan mereka yang bertugas mengevakuasi selalu dibimbing olehNya sehingga dimudahkan dalam menjalankan tugasnya. 

Kemudian aku membaca berita-berita lain, termasuk semua berita yang berhubungan tentang Pak Dahlan Iskan, mentri BUMN yang rendah hatinya bukan main. Entah kenapa setiap berita yang berhubungan dengan Pak Dis selalu menarik untuk kusimak. Aku juga sering membaca blog pribadi beliau dahlaniskan.wordpress.com. cara beliau dalam memecahkan suatu masalah, cara berpikir beliau, dan semangat kerja keras beliau, telah memberikan banyak inspirasi buatku.

Setelah selesai membaca media-media online, aku pun membuka stok filmku. Dari sekian banyak judul film yang belum ditonton, Looking for Jackie Chan akhirnya menjadi pilihanku. Walaupun demikian sebenarnya aku tak terlalu serius menontonnya. Aku juga masih berusaha untuk memejamkan mataku. Dan selalu gagal.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ku coba tuk menghubungi beberapa teman untuk bisa menghantarkanu ke halte trans Jogja. Maklum jarak dari kos ke halte hampir 1km. Belum lagi aku harus membawa cermin, galon, ransel, dan koperku. Yang jelas ga mungkin dilakukan dengan berjalan kaki. Ku sms apparaku CH Sidabutar, namun tak ada balasan. Ku coba tuk meng-sms adiknya, namun hasilnya juga sama. Aku pun meng-sms Sony Aritonang. Sony, walaupun tidak bisa karena ada acara, aku lumayan senang. Setidaknya sms ku di balas gitu lah... Pertolongan terakhir pun kuharapkan kepada bang OKT, namun sayangnya di sedang di SANMOR.

Arrrggghh... Bingung aku pikirku. Akhirnya ku sms Sr. Anni Tarigan yang pagi ini akan mengikuti seminar di kampus Sadhar Paingan. Tapi aku terbingung. Jumat sebelumnya aku uda janji akan mengantarkan dan menitipkan beberapa potong barang-barangku di Susteran. Tapi bagaimana ya...? Kan rencananya aku mau mengejar kereta Pramex yang pukul tgh 11 ke Solo. 

Aku pun bergegas dengan sepedaku menuju jalan raya guna mencari tukang ojek. Dengan modal nekat aja sich, soalnya setahuku memang tidak ada pangkalan ojek di sekitar kos. Adanya ya cuma di samping halte. Kubalap sepedaku dan... THANK YOU SO MUCH LORD... Belum ku mendapati tukang ojek aku melihat Sr. Laura Naibaho. Puji Tuhan banget pikirku....

Aku pun memanggil Suster Laura dan meminta tolong untuk diantarkan ke bandara. Suster Laura langsung mengiyakan. Kami berdua pun menuju kos dan langsung menuju bandara. Awalnya aku bingung siapa yang harus dibonceng dan siapa yang membonceng. Soalnya agak segan juga kalo suster itu yang harus menyandang travel bag ku yang lumayan berat itu. Apalagi harus sambil memegang galon dan cermin. Kalau Suster itu yang membonceng aku juga khawatir. Soalnya koperku kan ditaruh di depan, pasti akan kesusahan Suster itu mengemudikan motornya. Akhirnya si Suster mengatakan, "ga usah repot-repot, biar aku yang di belakang". 

Kami pun langsung melaju ke bandara, namun harus singgah ke SPBU sebelumnya. Ini adalah kali keduanya aku berangkat ke Solo dengan menggunakan kereta api dan dari stasiun yang sama. Sewaktu memasuki kompleks bandara, aku bingung dengan jalan yang ku ambil. Tak terlihat halte trans bandara. Suster Laura pun setuju dengan kebingunganku. Namun, untunglah "nyasar"ku membawa keberuntungan. Kami ternyata berhenti di bawah stasiun. Jadi terasa jauh lebih dekat dibandingkan kalau harus melalui halte trans. 

"Terimakasih banyak ya Suster. Helm q aku titip di susteran aja ya. Ntar kapan-kapan dech aku ambil." 
"OK. Ati-ati di dalan ya," jawab Suster Laura. 

Aku pun langsung menuju loket dengan menaiki tangga. Ternyata ada kereta yang akan datang terlebih dulu sebelum kereta Pramex, Madiun Jaya. 

Sejam kemudian aku berhenti di stasiun Jebres. Apparaku yang baik, Bob Sigalingging sudah stand by menjemputku. Aku pun langsung mengatakan bahwa aku langsung pulang ke jogja dengan kereta Pramex yang berangkat jam 12.30. 

Sesampainya di kos kuletakkan semua barang-barangku. Barang-barang yang dari koper aku keluarkan semuanya karena kopernya akan kubawa lagi ke jogja. Aku langsung ke kos Bob. Di situ ada Nisita, kekasihnya Bob. 

Aku pun langsung kembali ke kos, menyapa Mbah Untung si empunya kos. Si mbah menanyakan kapan aku akan menempati kamarku. Maklum aku sering muncul dan hilang... Aku pun menjawab besok (14/05) adalah hari terakhir aku di jogja. Aku sendiri pergi kejogja karena mau menjemput sepedaku. Tapi ada yang aneh dari pembicaraan siang itu dengan mbah untung. AKu kan belum menempati kos tapi sudah ditagih uang listrik. Aneh pikirku... Pada umumnya kan anak kos di tagih uang listrik setelah sebulan menempati kosan mereka. Ini belum ditempati juga kok malah uda ditagih. "Oalah... Siap2 bokek lagi nich" gerutuku.

Aku pun dihantarkan kembali ke stasiun jebres. Kira2 pukul 2 aku sampai di stasiun maguwo. Dengan Bus Trans jalur 3A aku kembali ke kos. Untung bang Okta ada. Jadi bisa menjemputku dari instiper. (Kan Malu juga kalo ada orang yang liatin aku sambil bawa2 koper gitu hahaha....).

Jam 3 aku pun langsung tepar... Berharap tidur kali ini akan nyenyak (maklum seharian belum tidur)...

Sabtu, 12 Mei 2012

Sumini


Sumini adalah seorang gadis yang sangat miskin. Saking miskinnya Sumini belum pernah memakai BeHa. Tapi sekarang, karena dia sudah berpacaran, dia pun belajar menggunakannya.

Tak lama kemudian SUmini pun dinikahi oleh seorang pemuda di kampungnya, Surip, yang juga merupakan orang susah.

Untuk mempersiapkan pernikahan tersebut, Ibu Sumini pun menjahitkan BeHa dan CD untuk Sumini. Karena tidak punya uang, Ibunya membuatkan BeHa dari karung bekas pupuk urea dan kain spanduk pemilu.

Dimalam pertama, saat sedang bermesra-mesraan, tiba-tiba suaminya jatuh pingsan, kaget melihat BeHa istrinya yang bertuliskan “BERAT BERSIH 25KG”, “HATI-HATI BERACUN”… Sedang di CDnya tertulis: “CUKUP DICONTRENG JANGAN DICOBLOS…”

Dan kisah penderitaan orang susah yang tak bisa menikmati malam pertama mereka pun berlanjut…


Keesokan harinya, gantian Sumini yang pingsan karena melihat CD suaminya yang terbuat dari bekas spanduk jamu nyonya meneer yang bertuliskan “BERDIRI SEJAK 1918″

nb: tak ada maksud porno lhow, cuma bermaksud menghibur…

Jumat, 11 Mei 2012

Terbuai dengan Janji




Aku sms dia berkali-kali. Tak juga ku mendapat jawaban. Ku coba sms adiknya juga, namun semua sama saja. Bingung rasanya harus bagaimana aku mengangkut sisa barang pindahan ini ke Solo. Tanggal 6 lalu kami bertemu setelah dua bulan lamanya dia berada di Kalimantan untuk PKL.

Sewaktu kami bertemu, aku sempat mengeluhkan bahwa sulitnya mendapatkan pinjaman motor untuk mengangkuti barang-barang kosku ke solo. Sebenarnya aku ingin sekali mengangkut semua barang2 milikku ke Solo dengan menggunakan mobil. Namun apa daya, duit sudah pas-pasan sekarang ini. Terpaksa aku mengangguti barang2ku dengan menggunakan motor. 

Aku sangat senang mendengar ceritanya bahwa dia dan 4 orang lainnya (yg merupakan keluarganya yang juga kuliah di kampus yang sama) akan pergi jalan-jalan ke Solo. Dia telah membuat rencana untuk menyewa mobil dan berangkat pada hari Rabu pagi. Entah karena prihatin mendengar ceritaku atau entah ingin menghibur diriku, dia pun menawarkan mobilnya untuk menghantarkan sebagian barang2 kosku ke Solo. Hal itu dia janjikan tepat sebelum aku berangkat ke Solo dengan menggunakan motor temanku untuk menghantarkan sebagian barang2ku. 

Sesampainya di Solo aku pun menceritakan kesenanganku kepada temanku yg di Solo. Dia pun senang mendengarnya. Rasa kesal karena kena hujan lebat yang membuatku basah kuyup dan menggigil kedinginan pun sedikit terobati. Namun beberapa menit setelah dirinya bercerita aku pun ditelpon olehnya. Keberangkatan ke Solo ditunda antar Kamis pagi dan Jumat pagi. Aku pun menjawab hal itu tidak masalah mengingat bahwa aku masih bisa tinggal di kosku yang di Jogja hingga tanggal Senin 14 Mei ini. Aku pun langsung balik ke Jogja. Dengan kecepatan 80km/jam aku pun sampai 

Hari Rabu dan Kamis (9,10/05) pun berlalu. Aku pun mengirimi pesan padanya. Ku tanyakan hari apa jadi berangkat ke Solo. Sms ku tak di balas. Ku coba mengirimi adiknya pesan tapi sama juga tidak di balas. Ku datangi kos mereka, tak satupun dari mereka ada di situ.

Aku tersadar dan kecewa (lagi). Sebelumnya sudah berulang kali dia membuat aku kecewa. Beberapa kali dia tidak menepati janji. Beberapa kali juga dia melakukan hal itu. Aku heran kepada diriku sendiri. Aku heran kenapa aku bisa mempercayai kesungguhan abstrak dirinya (lagi) untuk menawarkan bantuan...

Hal ini membuat aku menyadari bahwa tak semua tawaran bantuan itu untuk diterima dalam hati. Ada kalanya tawaran maupun bantuan itu digunakan oleh beberapa orang sekedar sebagai bahan percakapan, penghilang rasa kecewa sesaat. Namun aku yakin, Tuhan selalu menghadirkan orang2 yang akan setia dan tulus untuk memberikan tangannya kepada kita. Dan ada baiknya kita yang memulai hal itu. TEntu kita yakin bahwa kita merupakan insan yang mampu bukan???