1. Jelaskan
mengapa penerjemahan itu pada umumnya sulit dilakukan?
Pembahasan:
a. Kualitas
Teks Bahasa Sumber:
Kesulitan dalam
menerjemahkan bisa disebabkan oleh rendahnya kualitas teks sumber. Perlu
diketahui bahwa tidak semua orang mampu menuangkan ide atau gagasan dengan
baik. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai teks yang sulit dipahami isinya.
Sulit dipahami karena teks tersebut tidak memenuhi aturan gramatikal, tidak
koheren dan tidak kohesi, serta menimbulkan kebingungan (ambiguitas) sebelum
teks tersebut diterjemahkan. Dari sini jelas akan muncul kesulitan-kesulitan
yang lebih besar jika teks seperti ini dijadikan sebagai teks sumber suatu
penerjemahan.
b. Adanya
perbedaan dalam sistem bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran
Hal pokok yang
mendasari penerjemahan adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah dari dua atau
lebih bahasa. Penerjemahan sangat menuntut pemahaman terhadap bahasa sumber dan
bahasa sasaran dan bukan sekedar proses pencarian padanan kata. Penerjemahan
sudah tentu bukanlah sesuatu yang mudah karena masing-masing bahasa memiliki
sistem mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Nababan bahwa
setiap bahasa memiliki struktur sintaksis, sintagmatik, leksikal, dan morfem
yang berbeda dari sistem bahasa yang lainnya (2008:54).
c. Adanya
kerumitan dalam semantik dan stilistika
Semantik
Berbicara mengenai
penerjemahan berarti berbicara mengenai makna. Makna memiliki cakupan yang luas
dan cenderung bersifat subjektif. Dikatakan subjektif karena kata-kata tertentu
memiliki makna tertentu pula bagi sebagian masyarakat dari suatu budaya.
Misalnya kata “petani” bagi masyarakat di Indonesia pada umumnya diidentikkan
dengan orang miskin. Namun di Amerika dan Eropa, “petani” justru identik dengan
orang kaya yang memiliki tanah yang sangat luas (Nababan, 2008).
Stilistika
Bahasa merupakan alat
pengungkap kebudayaan. Adanya perbedaan sosio budaya antar masyarakat kemudian menimbulkan
perbedaan dalam mengungkapkan bahasa yang notabenenya merupakan bagian dari
budaya (Nababan, 2008). Misalnya panggilan sapaan di antara masyarakat Jawa dan
masyarakat Batak. Bagi orang Jawa, memanggil orang dewasa atau yang sudah
berkeluarga, dengan langsung menyebut nama orang tersebut merupakan hal yang
lumrah dan sah-sah saja. Namun bagi orang Batak, jika ingin memanggil mereka,
yang disebutkan adalah marganya (misalnya Pak Pasaribu, Ibu Habeahan, dsb).
Memanggil dengan menyebut nama mereka merupakan hal yang tidak sopan dalam
budaya Batak. Untuk itulah penerjemah juga dituntut untuk memahami dengan baik
budaya masyarakat bahasa sumber dan masyarakat bahasa sasaran.
d. Penerjemahan
menuntut kemampuan yang luas dalam mengkomunikasikan teks bagi pembacanya.
Penerjemahan memiliki
fungsi yang sama dengan bahasa, yaitu mengkomunikasikan segala ide ataupun
gagasan. Untuk itu teks yang diterjemahkan harus dapat mengkomunikasikan ide
ataupun gagasan yang ada pada bahasa sumber. Hal ini bukanlah sesuatu yang
mudah.
Penerjemahan bukan
sekedar mencari padanan di tingkat kata, frasa, klausa, kalimat, ataupun teks.
Tentang apa teks sumber tersebut (iptek, resep makanan, politik, ekonomi, sosial,
dsb) dan kepada siapa teks tersebut ditujukan (anak-anak, ibu rumah tangga,
mahasiswa, dsb) merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Dari sini dapat
dilihat bahwa pemilihan diksi atau padanan yang paling tepat untuk
mengkomunikasikan teks tersebut bukanlah hal yang mudah pula. Seorang
penerjemah tidak mungkin menggunakan diksi yang hanya dipahami oleh orang
dewasa ketika ingin menerjemahkan buku dongeng untuk anak.
e. Penerjemahan
menuntut kualitas dan kecepatan.
Penerjemahan tidak
hanya menuntut kualitas namun juga kecepatan. Bagi para penerjemah profesional,
mereka harus sering bekerja di bawah tekanan. Seringkali waktu yang diberikan
(misalnya oleh penerbit) sangat minim sehingga mereka harus bekerja di bawah target
deadline. Padahal menerjemahkan itu
sendiri dimulai dengan membaca keseluruhan isi teks sumber. Dengan demikian
akan muncul beban untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas di bawah
tekanan deadline. Jumlah ataupun besaran teks yang diterjemahkan sering tidak
sesuai dengan waktu (kurang) yang seharusnya.
2. Jelaskan
dalam hal apa saja teks bahasa saran harus sepadan dengan teks sumbernya?
Pembahasan:
Masalah kesepadanan
muncul karena adanya perbedaan sistem gramatikal, semantik, sosio-budaya antara
bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan sebagai inti dari suatu penerjemahan,
pencarian padanan akan menggiring kita ke konsep keterjemahan dan
ketakterjemahan (Nababan, 2008). Masalah kesepadanan terjadi di banyak
tingkatan atau tataran. Tataran kesepadanan yang akan diuraikan di bawah ini
sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Mona Baker dalam bukunya In Other Words (1992):
A.
Padanan
pada tataran kata.
Kata merupakan unit
yang pertama yang akan di uraikan maknanya ketika menerjemahkan. Dalam
menguraikan makna kata atau padanan suatu kata ada 3 analisis yang perlu
diterapkan:
1. Analisis struktural atau analisis morphem.
Hal ini dilakukan dengan menguraikan
morfem-morfem pembentuk kata bahasa sumber. Misalnya kata recharge yang terdiri
dari morfem re dan charge yang memiliki arti ‘to charge
again’.
2. Analisis
komponen makna
Analisis ini dilakukan dengan
menguraikan makna suatu kata dalam bahasa sumber. Dengan analisis ini kita akan
menemukan bahwa sering kali suatu kata dalam bahasa sumber padanannya akan
terdiri dari beberapa kata dalam bahasa sasaran (Baker, 1992:11 dan Nababan,
2008:98). Misalnya kata nap yang
berarti tidur siang dalam bahasa
Indonesia.
Dalam menemukan padanan
kata seringkali juga kita menghadapi bahwa padanan kata tersebut tak tersedia
atau tak ada dalam bahasa sasaran. Inilah yang kemudian kita sebut dengan
ketidaksepadanan. Ada berbagai jenis dan tingkat kesulitan yang beragam pada sifat
ketidaksepadanan tersebut. Baker (1992) membagi ketaksepadanan pada tataran
kata menjadi 11 jenis:
1.
Konsep khusus budaya
Suatu kata dalam bahasa sumber bisa saja
mengungkapkan suatu konsep yang sama sekali tidak dikenal atau tidak ada dalam
budaya bahasa sasaran. Hal ini bisa saja berkaitan dengan agama, adat-istiada,
atau jenis makanan. Contohnya adalah konsep mangongkal
holi dalam adat – istiadat masyarakat Batak; konsep ini tidak dikenal dalam
bahasa Inggris.
2.
Konsep bahasa sumber yang tidak tersedia
dalam bahasa sasaran
Suatu konsep bahasa sumber bisa saja
diungkapkan dengan konsep yang dikenal dalam bahasa budaya bahasa sasaran
tetapi bahasa sasaran tidak mempunyai kata untuk mengungkapkannya. Contohnya
adalah sangsang (baca: saksang), makanan khas masyarakat Batak. Banyak
masyarakat nonBatak yang akrab dengan makanan ini, namun mereka tidak memiliki
kata untuk mengungkapkan konsep yang dikandung oleh jenis makanan itu.
3.
Konsep bahasa sumber secara semantik
sangat kompleks.
Ada kalanya sebuah kata mengungkapkan
makna yang lebih rumit dibandingkan dengan sebuah kalimat. Misalnya kata bahasa
Brasil arruacao yang dalam bahasa
Inggris berarti “clearing the ground under coffe trees of rubbish and piling it
in the middle of the row in order to aid in the recovery of beans dropped
during the harvesting”.
4.
Perbedaan persepsi terhadap suatu
konsep.
Contoh dari konsep ini adalah raining. Di dalam bahasa Inggris raining
bisa saja berarti “kehujanan”. Namun dalam bahasa Indonesia sendiri, raining bisa memiliki arti kehujanan
(tanpa sepengetahuan) dan hujan-hujanan (dengan sepengetahuan).
5.
Tidak adanya unsur atasan (superordinat)
dalam bahasa sasaran.
Suatu bahasa mungkin saja memiliki unsur
bawahan atau khusus namun tidak memiliki unsur atasan (superordinat) yang
menunjuk pada suatu objek atau konsep. Bahasa Indonesia misalnya memiliki unsur
atasan fasilitas yang menunjuk pada beberapa unsur bawahan seperti peralatan,
bangunan. Bahasa Rusia sebaliknya tidak.
6.
Tidak adanya unsur bawahan (hiponim)
pada unsur bawahan.
Unsur bawahan (hiponim) dalam suatu
bahasa sumber belum tentu terdapat pada bahasa sasaran. Misalnya kata house yang memiliki hiponim bungalow, cottage, croft, chalet, lodge,
hut, hall, manor, dan villa.
Sebagian dari hiponim ini ada padanannya dalam bahasa Indonesia namun sebagian
tidak.
7.
Perbedaan dalam perspektif interpersonal
dan fisik.
Perspektif fisik bisa saja lebih penting
bagi suatu bahasa. Perspektif fisik menunjukkan hubungan orang dalam suatu
wacana. Dalam bahasa Jawa misalnya, kata yang digunakan ketika berbicara dengan
teman sebaya pasti berbeda dengan kata yang digunakan ketika berbicara dengan
orang yang lebih tua.
8.
Perbedaan dalam hal makna ekpresif
Beberapa kata atau kelompok kata, baik
dalam bahasa sumber maupun dalam bahasa sasaran, mungkin saja memiliki makna
proposisi yang sama namun berbeda makna ekspresinya. Contoh dari hal ini adalah
Tutup mulutmu! dan Diam!. Kedua contoh ini memiliki makna
proposisi yang sama karena mengisyaratkan orang lain untuk berhenti berbicara.
Akan tetapi, makna ekspresif yang dikandung oleh kedua ungkapan itu berbeda
satu sama lain. Tutup mulutmu!
digunakan jika kita merasa perkataan seseorang sangat menjengkelkan kita.
9.
Perbedaan bentuk kata
Pembentukan kata dalam masing-masing
bahasa tidaklah sama. Meskipun ada kesamaan irama dalam pembentukan kata
(Inggris: employer/employee, trainer/trainee; Indonesia: penatar/petatar,
pengajar/pembelajar), dalam kasus tertentu awalan, imbuhan, dan akhiran yang
diberikan pada suatu kata untuk membentuk pengertian baru tidak selalu
menghasilkan padanan yang sama. Misalnya drinkable
tidak seharusnya disebut dapat diminum, melainkan cocok untuk diminum.
10. Perbedaan
dalam hal tujuan dan tingkat penggunaan bentuk-bentuk tertentu
Suatu bentuk kata bisa saja sudah ada
padanannya dalam bahasa sasaran. Namun perlu diketahui bahwa ada perbedaan
tujuan dan tingkat penggunaan bentuk kata tersebut dalam bahasa sasaran. Bahasa
Inggris, misalnya, sering menggunakan bentuk verb+ing untuk menggabungkan
klausa
11. Penggunaan
kata pinjaman dalam teks sumber.
Saat suatu kata asing dipakai dalam
suatu bahasa maka arti dari kata asing tersebut tidak dapat ditebak atau
dikendalikan. Kata pinjaman bisa saja melahirkan makna yang berbeda. Misalnya feminist dalam bahasa Inggris berarti a person who supports the belief that women
should have the same rights and opportunities as men. Namun dalam bahasa
Jepang feminist berarti a man who is
excessively soft with women.
Masalah-masalah
ketidaksepadanan di atas perlu dinilai arti pentingnya. Tidak semua masalah
ketaksepadanan tersebut penting. Untuk memecahkan masalah ketaksepadanan pada
tingkatan kata ini ada beberapa strategi yang dapat digunakan:
1.
Menggunakan kata yang lebih umum
(superordinat).
2.
Menggunakan kata yang lebih netral atau
lebih ekspresif.
3.
Menggunakan substitusi kebudayaan.
4.
Menggunakan kata pinjaman atau kata
pinjaman yang dilengkapi dengan penjelas.
5.
Memparafrase dengan menggunakan kata
yang berhubungan.
6.
Memparafrase dengan menggunakan kata
yang tidak berhubungan.
7.
Melakukan penghapusan/penghilangan kata.
8.
Menerjemahkan dengan menggunakan
gambar/ilustrasi.
B.
Padanan
di atas tataran kata
1.
Kolokasi
Suatu
kata memiliki kecenderungan untuk bersanding atau berkolokasi dengan kata lain.
Kolokasi ini kemudian menghasilkan frasa. Misalnya kata roda biasanya bersanding dengan kata sepeda, mobil, dan truk. Namun
pola sanding atau kolokasi seperti ini tidak bisa menuntun kita untuk membentuk
suatu frasa. Misalnya, walaupun carry
out, undertake, dan perform
selalu bersanding dengan kata visit. Namun para pengguna bahasa Inggris lebih
cenderung menggabungkan pay dengan a visit (to pay a visit) daripada make
dengan a visit (to make a visit). Selain itu kolokasi juga belum atau tidak dapat
digunakan untuk menentukan makna suatu kata. Misalnya kata dry yang biasanya bersanding dengan kata-kata cow, bread, dan wine.
Pada kata-kata ini kata dry berbeda sekali dengan makna umumnya (dry cow= sapi
yang tidak menghasilkan susu; dry bread=roti yang dimakan tanpa begitu saja,
tanpa selai dsb, dry wine= anggur yang tidak manis).
Kolokasi
juga memungkinkan kita untuk membentuk dua macam frasa, yaitu frasa endosentris
dan frasa eksosentris. Frasa endosentris adalah frasa yang terdiri dari unsur
inti dan unsur pewatas. sedangkan frasa eksosentris merupakan frasa yang tidak
memiliki unsur inti maupun unsur pewatas. Frasa endosentris contohnya seperti
di atas, dry cow. Cow merupakan inti
sedangkan dry merupakan pewatasnya.
2.
Ungkapan idiomatik
Ungkapan idiomatik merupakan frasa
eksosentrik. Ungkapan ini tidak memiliki unsur inti maupun unsur pewatas. Arti
dari ungkapan idiomatik pun sudah bersifat baku. Dan idiom sering memuat makna
yang tidak dapat disimpulkan berdasarkan kata-kata pembentuknya. Misalnya to kick the bucket yang artinya bunuh
diri, tidak ada hubungannya dengan kick dan
bucket. Untuk lebih paham dan mudah
menemukan padanan frasa eksosentrik maka kita harus familiar dengan berbagai
macam idiom bahasa sumber dan bahasa sasaran.
C.
Padanan
gramatikal
Padanan gramatikal
selalu dikaitkan dengan dua dimensi utama, yaitu: morfologi dan sintaksis.
1. Morfologi
Morfologi berkaitan
dengan struktur kata yang menandakan perbedaan sistem gramatikal suatu bahasa.
Contoh yang paling sering dan paling mudah diamati adalah penjamakan kata
benda. Dalam bahasa Inggris jika ingin menuliskan bentuk jamak dari suatu kata
benda cukup memberikan akhiran tertentu (mis, -s, -es, -ies, etc) pada bentuk tunggalnya. Sementara dalam bahasa
Indonesia penjamakan dilakukan dengan pengulangan ataupun pemberian kata yang
bermakna jamak sebelum bentuk tunggalnya (misalnya beberapa, semua, sebagian).
2. sintaksis
Sintakis berkaitan
dengan struktur gramatikal kelompok kata, clausa dan kalimat. Sintaksis
berusaha mengkaji jenis kata (kata benda, kata kerja, kata sifat dan kata
keterangan) serta unsur-unsur pembentuk kalimat (subjek, predikat, objek).
Padanan gramatikal yang
mencakup sintaksis terpusat pada konsep antara bahasa sumber dan bahasa sasaran
dalam hal jumlah (number), gender, person,
tenses dan aspek, dan voice.
a. Number
Konsep keterhitungan
merupakan sesuatu yang universal. Dalam bahasa Inggris, secara gramatikal,
konsep jamak diungkapkan dengan morfologi (seperti di atas). Dalam bahasa Cina
bentuk jamak bisa saja sama dengan bentuk tunggalnya, misalnya untuk my book dan my books: wo-de-shu. Dalam bahasa Eskimo penjamakan tidak hanya
dimulai dengan yang lebih dari satu, namun dengan yang lebih dari dua, misalnya iglu, igluk dan iglut (satu/dua/dan lebih dari dua rumah).
b. Gender
Gender menyandangkan
feminis dan maskulin pada kata ganti dan kata benda baik kata benda yang
bergerak maupun kata benda yang tak bergerak. Bahasa Prancis merupakan salah
satu bahasa yang membedakan gender feminim dan maskulin pada kata bendanya,
misalnya fils/fille (‘son/daughter’). Dalam bahasa Inggris gender ditandakan
dengan lexicalnya, misalnya doe dan stag (rusa betina dan rusa jantan).
c. Persona
Pada umumnya banyak
bahasa yang secara gramatikal memiliki 3 jenis kata ganti, yaitu kata ganti
orang pertama (Saya, kita), kata ganti orang kedua (kamu, kalian), dan kata
ganti orang ketiga (Dia, ini/itu, mereka). Namun dalam beberapa bahasa juga
terdapat kata ganti orang keempat (95).
d. Tense
and aspect
Banyak bahasa dimana
kala dan aspek merupakan kategori gramatikalnya. Contohnya adalah bahasa
Inggris. Pada bahasa ini kata kerjanya (misalnya cried, cry, is crying, will be
crying, have been crying)mengandung dua informasi, yaitu: hubungan waktu dan
perbedaan aspek. Waktu berkaitan dengan saat terjadinya sesuatu (kala lalu,
kala kini, atau kala yang akan datang). Sementara itu aspek berhubungan dengan
lamanya atau periode suatu kata kerja (sementara, sedang berlangsung, sudah
berlangsung).
Sementara itu pada
bahasa Indonesia tidak ada kata kerja yang menandakan kala maupun aspek. Kala
ataupun aspek dapat diketahui dari kata keterangan yang menyertai kata kerjanya
(misalnya sedang, sudah, akan).
e. Voice
Penerjemahan kalimat
aktif menjadi kalimat aktif tidak selalu bisa diterapkan dalam bahasa sasaran. Please be seated! yang artinya Silahkan duduk! misalnya akan salah
besar jika diterjemahkan Silahkan diduduki. Oleh karena itu kalimat aktif suatu
bahasa sumber bisa saja lebih atau memang sepadan dengan kalimat pasif bahasa
sasaran. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Sebelum menerjemahkan
suatu kalimat ke bahasa sasaran, ada baiknya diperhatikan bagaimana pandangan
suatu masyarakat tentang kalimat pasif. Di Jepang misalnya, kalimat pasif
sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan tidak menyenangkan (107).
Selain kelima hal di
atas, hal yang perlu diperhatikan dalam hal sintaksis adalah susunan kata.
Dalam beberapa bahasa, susunan sujek, predikat, maupun objek bisa saja baku
atau teratur. Namun di beberapa bahasa susunan subjek, predikat maupun objek
yang berbeda tidak menandakan makna yang berbeda pula. Misalnya dalam bahasa
Rusia, baik Ivan videl Borisa maupun Borisa videl Ivan sama-sama berarti ‘John saw Boris’.
D.
Padanan pada tataran teks
Padanan pada tataran
teks dimulai dari klausa. Klausa yang mengandung satuan pesan dianalisa
struktur tema dan struktur informasinya. Setelah itu teks dianalisa
kekohesiannya. Kekohesian merupakan keterpaduan antara kata, gramatikal dan
lainnya dalam suatu teks. ada 5 penanda kohesi dalam suatu teks, yaitu:
reference (kata acuan/rujukan), substitution (kata pengganti), ellipsis
(penghilangan kata), conjunction (kata penghubung), dan lexical cohesion (kata
yang saling berkaitan).
E.
Padanan
pada tataran pragmatik
Padanan itu pada
tingkat pragmatik bersifat subjektif atau menyinggung makna suatu terjemahan
bagi pendengar ataupun pembaca suatu terjemahan (pengguna bahasa). Padanan pada
pragmatik harus bersifat koheren.
Kokoherensian suatu
teks merupakan hasil interaksi antara pengetahuan yang ada pada teks dan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh para pembacanya. Pengetahuan dan
pengalaman tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti usia, jenis kelamin,
suku, kebangsaan, pendidikan, pekerjaan, agama, dsb. Untuk itulah suatu teks
bisa saja koheren bagi sekelompok pembaca namun tidak bagi yang lainnya.
Singkatnya, pengetahuan dan budaya seorang akan menentukan seberapa besar
seorang pembaca menghayati teks terjemahan yang dia baca.
3. Apa
tujuan penerjemah dalam menerapkan berbagai teknik penerjemahan?
Pembahasan:
Seorang penerjemah akan
selalu bergelut dengan dua bahasa ketika akan menerjemahkan. kedua bahasa
(sumber dan sasaran) sudah tentu memiliki banyak perbedaan, mulai dari struktur
hingga budayanya. Perbedaan-perbedaan inilah kemudian yang sering menjadi
kendala bagi para penerjemah. Untuk mengatasi hal tersebut maka para penerjemah
dapat menggunakan berbagai teknik penerjemahan yang telah ada. Teknik-teknik
tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk mengatasi kebingungan saat
menerjemahkan (Molina & Alber, 2002: 48).
Teknik-teknik
penerjemahan dapat membantu penerjemah dalam menjawab dua pertanyaan yang
muncul saat berlangsungnya proses menerjemahkan; pilihan apa (misalnya metode)
yang telah diambil oleh penerjemah dalam mengerjakan proyek terjemahan? dan
bagaimana penerjemah memecahkan masalah-masalah yang muncul saat berlangsungnya
proses penerjemahan?
Penggunaan
teknik-teknik penerjemahan juga akan membantu penerjemah dalam menentukan bantuk
dan struktur kata, frasa, kluasa dan kalimat terjemahannya. Selain itu
penerjemah juga akan terbantu dalam menentukan padanan yang paling tepat dalam
bahasa sasaran. Dengan demikian kesepadanan terjemahan secara menyeluruh dapat
diterapkan pada berbeagai satuan lingual. Selain itu penggunaan teknik tidak
hanya menghasilkan terjemahan yang akurat namun juga berterima dan mudah
terbaca oleh pembaca teks sasaran (Nababan).
4. Mengapa
proses penerjemahan disebut sebagai 1) proses pemecahan masalah dan 2) proses
pengambilan keputusan?
Pembahasan
Sama seperti yang
disebutkan di atas, proses penerjemahan berusaha menjawab dua pertanyaan:
pilihan apa yang diambil penerjemah dan bagaimana dia memecahkan masalah yang
timbul saat berlangsungnya proses penerjemahan. Dua pertanyaan ini secara
langsung
a. Proses
penerjemahan disebut sebagai proses pemecahan masalah dan proses pengambilan
keputusan:
Didalam menerjemahkan
penerjemah dituntut untuk memahami dengan baik bahasa sumber dan bahasa sasaran
yang notabenenya berbeda satu sama lain dalam berbagai hal dan tingkatan
(gramatikal, sintaksis, dsb). Untuk dapat menerjemahkan dengan baik maka
penerjemah harus bisa menangkap isi, makna dan pesan yang terkandung dalam teks
sumber.
Hal ini diawali dengan
membaca teks dan menganalisanya mulai dari tingkatan kata, frasa, klausa,
kalimat hingga teks itu sendiri. Dengan membaca dan menganalisa teks sumber
maka akan timbul pertanyaan tentang bagaimana cara menyampaikan isi, makna dan
pesan tersebut ke dalam bahasa teks sasaran: apakah yang digunakan transposition, modulasi, equivalence atau
adaptation, apakah kalimat kompleks tetap diterjemahkan menjadi kalimat
kompleks atau diterjemahkan ke dalam beberapa kalimat sederhana, kamus monolingual atau kamus bilingual kah yang harus digunakan, dan
sebagainya.
Teknik-teknik yang
diterapkan merupakan strategi untuk memecahkan semua persoalan yang ada dalam
menerjemahkan. Semua keputusan yang diambil oleh seorang penerjemah dalam
memecahkan berbagai masalah menggambarkan bahwa seorang penerjemah memiliki
kuasa penuh dalam menentukan berbagai hal. Dia memiliki kuasa untuk menentukan
apakah terjemahan disesuaikan dengan norma dan budaya bahasa sasaran atau
mempertahankan norma dan budaya teks sumber, bagaimana susunan kata, istilah,
struktur kalimat, dan susunan gagasan dalam terjemahan, apakah suatu ungkapan
perlu dihilangkan atau dibiarkan seperti aslinya, apakah suatu kata atau
istilah perlu diberi informasi tambahan, dan sebagainya. Pembuatan
keputusan-keputusan tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kompetensi
kebahasaan, tekstual, kultural, bidang ilmu, transfer dan bahkan latar belakang
penerjemah tersebut.
5. Apa
saja faktor penyebab proses penerjemahan menjadi sangat lamban?
Pembahasan:
a. Kualitas
teks sumber:
Teks sumber merupakan
pijakan dasar dalam proses penerjemahan. Cepat atau lambatnya suatu teks sumber
diterjemahkan akan ditentukan dari kualitas teks tersebut. Teks yang baik
adalah teks yang memiliki struktur yang benar, memperhatikan kohesi dan koherensi,
dan tidak memunculkan keambiguan. Sedangkan teks yang berkualitas tidak baik
memiliki struktur yang tidak benar, memunculkan keambiguan, tidak memperhatikan
kohesi dan koherensi, dsb (Nababan, 2008). Teks sumber yang memiliki kualitas
rendah nantinya pasti membutuhkan perbaikan terlebih dahulu. Ini berarti
sebagian waktu yang digunakan dalam proses penerjemahan harus diberikan untuk
memperbaiki teks sumber tersebut. Dengan demikian penerjemahan semakin lama
diselesaikan.
b. Kompetensi
dan pengalaman penerjemah
Penerjemah, sebagai seorang yang vital
dalam proses penerjemahan, sangat mempengaruhi tingkat kecepatan suatu proses
penerjemahan. Ada berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
penerjemah, antara lain; kecepatan membaca, kompetensi di bidang linguistik,
kompetensi sosio-budaya, kompetensi di bidang tertentu (teknologi, kedokteran,
pendidikan, dsb), kompetensi transfer, dan sebagainya. Penerjemah yang
kompetensinya tidak memenuhi syarat seperti sudah pasti akan memerlukan waktu
yang lebih lama dalam menerjemahkan.
Selain itu pengalaman dalam
menerjemahkan juga akan turut berkontribusi pada tingkat kecepatan
menerjemahkan seorang penerjemah. Penerjemah yang sedikit pengalamannya atau
penerjemah pemula kemungkinan besar memerlukan waktu yang lebih lama dalam
menerjemahkan suatu teks sumber.
c. Kerumitan
dalam mencari padanan (berkaitan dengan kompetensi linguistik)
Membuat teks sumber sepadan dengan teks sasaran,
mulai dari kata, frasa, clausa, hingga kalimat bukanlah hal yang mudah. Proses pencarian
padanan yang sulit inilah juga penyebab penerjemahan bisa saja berlangsung
lebih lama. Biasanya pencarian padanan yang membutuhkan waktu lebih lama adalah
padanan sosio-budaya.
6. Jelaskan
maksud dari penrnyataan ini: “ideologi penerjemahan tidak mungkin dapat
diketahui apabila teknik dan metode penerjemahan tidak diungkapkan lebih dulu”!
Pembahasan:
Ketika membaca suatu
karya terjemahan kita tidak seharusnya langsung mengklaim bahwa suatu teks
diterjemahkan dengan ideologi foreinisasi ataupun domestikasi. Pernyataan atau
klaim seperti ini terlalu dini dan terlalu luas cakupannya. Perlu diketahui
bahwa penilaian ideologi didasarkan pada suatu teks sebagai keseluruhan. Dan
dalam menilai suatu terjemahan kita seharusnya memulai dari unit yang terkecil,
yaitu kata, kemudian frasa, klausa, dan kalimat. Dalam menilai unit-unit ini,
yang kita perhatikan adalah metode dan teknik penerjemahannya; bagaimana cara
menentukan padanan, bagaimana struktur kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam
teks terjemahan. Analisa terhadap teknik dan metode penerjemahan yang digunakan
akan memandu kita dalam memastikan ideologi yang digunakan oleh seorang
penerjemah.
Mengenai metode
penerjemahan, Newmark (1998: 45) membagi delapan metode penerjemahan ke dalam
dua ideologi penerjemahan. Metode penerjemahan kata demi kata, penerjemahan
harfiah, penerjemahan setia, dan penerjemahan semantik merupakan metode-metode
yang menunjukkan ideologi foreinisasi karena metode-metode ini berorientasi
pada bahasa sumber. Sedangkan metode penerjemahan adaptasi, penerjemahan bebas,
penerjemahan idiomatik dan penerjemahan komunikatif merupakan metode-metode
yang menunjukkan ideologi domestikasi. Metode-metode ini berorientasi pada
bahasa sasaran.
Terkait dengan teknik
penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir (2002), Nababan (2008)
membagi teknik-teknik tersebut ke dalam dua kelompok, yaitu yang berorientasi
pada bahasa sumber (forenisasi) dan yang berorientasi pada bahasa sasaran
(domestikasi). Teknik-teknik yang berorientasi pada bahasa sumber, yaitu
peminjaman, calque dan penerjemahan harfiah. Sementara itu teknik-teknik yang
berorientasi pada bahasa sasaran, yaitu adaptasi, amplifikasi, kompensasi,
deskripsi, kreasi diskursif, kesepadanan lazim, generalisasi, ampilifikasi,
kompresi linguistik, modulasi, parikularisasi, reduksi, substitusi,
transposisi, variasi, penambahan dan penghilangan.
7. Mengapa
teks yang sama tidak mungkin diterjemahkan dengan cara yang sama oleh dua
penerjemah yang berbeda?
Pembahasan (diambil dari jurnal
Translation Process and Strategies: Two Case Studies (Nababan, 2007)):
Sebuah teks yang sama
tidak mungkin diterjemahkan dengan cara yang sama karena masing-masing
penerjemah memiliki strategi yang berbeda dalam menerjemahkan. Strategi yang mereka pilih dan gunakan tidak hanya
dipengaruhi oleh kemampuan dan pengetahuan mereka tentang bahasa sumber dan
bahasa sasaran namun juga dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam
menerjemahkan. Strategi-strategi tersebut menyangkut pendekatan, teknik, dan
hal lainnya yang berada di luar pendekatan dan teknik:
a.
Pendekatan:
ada
dua macam pendekatan yang dapat dipilih oleh penerjemah ketika ingin
menerjemahkan
1. Bottom-up:
penerjemah memulai proses penerjemahan dari tingkat mikro ke tingkat makro (kata
à
teks). Pendekatan ini dilakukan dengan cara langsung melakukan penerjemahan
sambil membaca teks sumber.
2. Top-down:
penerjemah memulai proses penerjemahan dari tingkat makro menuju tingkat mikro
(teks à
kata). Pendekatan ini dilakukan dengan terlebih dahulu membaca teks sumber
secara keseluruhan lalu mulai menerjemahkannya.
b.
Teknik
Ada
berbagai macam teknik penerjemahan yang dapat digunakan oleh seorang penerjemah
(mis adaptasi, amplifikasi, modulasi, transposisi, dsb). Teknik yang digunakan
dapat saja berbeda. Salah satu cara untuk mengamati bagaimana seorang
penerjemah menggunakan teknik adalah dengan penerjemahan sebuah kalimat yang
panjang atau kompleks. Ada penerjemah yang berusaha mempertahankan kalimat sumber
tersebut tetap menjadi sebuah kalimat kompleks. Namun ada juga penerjemah yang
menerjemahkannya menjadi beberapa kalimat sederhana dengan tujuan meningkatkan
keterbacaannya.
c.
Referensi
yang digunakan dalam mencari padanan kata
Hal
ini berkaitan dengan apa saja yang menjadi tumpuan seorang penerjemah ketika
berusaha mencari padanan suatu kata dalam bahasa sasaran. Ada penerjemah yang
hanya memanfaatkan kamus bilingual (misalnya kamus Indonesia – Inggris). Ada
penerjemah yang menggunakan kamus monolingual (mis English-English) karena
kamus jenis seperti ini dilengkapi dengan contoh penggunaan kata pada
konteksnya. Ada juga penerjemah yang menggunakan kamus istilah khusus karena
suatu kata pada suatu bidang tertentu memiliki makna yang jauh berbeda dari makna
umumnya. Selain menggunakan kamus-kamus tersebut untuk menemukan padanan yang
paling tepat, penerjemah juga dapat memanfaatkan berbagai buku, ensiklopedia,
dan sumber internet lainnya, dan bahkan bertanya langsung kepada native
speakers pengguna bahasa tersebut.
d. Kemampuan menulis dan membaca
penerjemah:
Meskipun
para penerjemah memiliki pengetahuan yang baik tentang bahasa sumber dan bahasa
sasaran, hal ini tidak menjamin mereka dapat menerjemahkan dengan baik. Salah
satu penyebabnya adalah kurangnya ketrampilan membaca dan menulis yang dimiliki
oleh mereka. Seseorang bisa saja memahami isi suatu tulisan, namun karena dia
tidak memiliki skill yang cukup dalam menulis, maka dia akan kesulitan dalam
menyampaikan gagasan-gagasan yang ada dalam teks sumber. Begitu juga dengan
kemampuan membaca. Seorang penerjemah memiliki kecepatan yang berbeda dalam
membaca suatu teks yang akan diterjemahkan.
e.
Nilai
yang dijunjung dalam menerjemahkan: keterbacaan atau keakuratan?
Sulitnya
suatu teks untuk diterjemahkan kemungkinan akan memunculkan beberapa
permasalahan bagi para penerjemah. Ada penerjemah yang berusaha menyampaikan
pesan suatu teks sumber seakurat mungkin namun karena beberapa hal hasil
terjemahannya kurang terbaca. Sebaliknya, ada penerjemah yang hasil
terjemahannya memiliki nilai keterbacaan yang tinggi namun tidak menyampaikan
pesan teks sumber secara akurat. Selain itu ada juga penerjemah yang berusaha
menjaga keseimbangan antara keakuratan dan keterbacaan terjemahannya. Hal yang
ini tidak mudah dilakukan, terlebih jika penerjemah dihadapkan dengan teks
sumber yang memiliki kerumitan tinggi untuk diterjemahkan.
f.
Pengetahuan
penerjemah tentang penulis teks sumber dan pembaca teks sasaran:
Masalah
ini tampak sepele namun sebenarnya penting diketahui. Sebelum menerjemahkan
sebaiknya penerjemah mencari tahu tentang penulis teks sumber. Bisa saja
penulis merupakan penulis amatir sehingga teks sumber yang akan diterjemahkan
memiliki banyak kesalahan gramatikal, diksi, dan lainnya. Atau bisa saja
penulis merupakan orang yang bukan di bidangnya sehingga teks sumber terasa
kaku.
Kepada
siapa teks ditujukan merupakan hal yang sama pentingnya. Mengetahui hal ini
akan membantu kita dalam menentukan dan memutuskan padanan, istilah teknis, dan
struktur kalimat yang sesuai dengan kompetensi pembaca teks sasaran.
8. Apa
peran kompetensi wacana dalam proses penerjemahan
Jawaban:
Terjemahan
memiliki fungsi sebagai alat komunikasi. Untuk itu menerjemahkan membutuhkan kompetensi-kompetensi lain di luar kompetensi
kebahasaan. Dan salah satu kompetensi tersebut adalah kompetensi wacana.
Kompetensi wacana membantu kita
dalam mengenali semua informasi yang ada pada suatu teks dengan lebih baik; usia,
asal – muasal, serta kelas sosial segala semua orang yang ada di dalamnya.
Selain itu kompetensi wacana membuat kita mampu memahami hubungan antara penulis
dan pembaca, sarana yang digunakan dalam menyampaikan isyarat-isyarat serta
fungsi suatu teks (Bell, 1991: 184). Kompetensi wacana akan membantu kita
memahami sebuah teks sumber sebelum kita mengkomunikasikan teks sumber tersebut
ke dalam bahasa lain.
9. Mengapa
kompetensi kebahasaan dipandang sebagai fondasi bagi kompetensi-kompetensi
lainnya?
Jawaban:
Catford
menyatakan bahwa setiap teori penerjemahan berhubungan erat dengan teori lingustik umum
(1965:1). Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa pemahaman terhadap
linguistik merupakan hal yang mendasar dalam penerjemahan.
Penerjemahan
melibatkan dua bahasa yang berbeda morfologi, leksikal dan sintaksisnya. Untuk
dapat memahami suatu teks sumber para penerjemah dituntut untuk memiliki
kompetensi kebahasaan. Kompetensi kebahasan ini merupakan aplikasi dari teori-
Dengan demikian para penerjemah mampu menganalisa makna dan pesan suatu teks
sumber, mulai dari tataran kata, frasa, klausa dan kalimat. Begitu juga saat
menerjemahkan teks tersebut. Untuk dapat menyampaikan pesan teks sumber dengan
baik maka seorang penerjemah harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang
bahasa sumber. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kompetensi kebahasaan
merupakan hal yang pertama dibutuhkan, baik pada saat menganalisa teks sumber
maupun pada saat menerjemahkannya pada bahasa sasaran.
Kompetensi
kebahasaan kemudian diikuti dan menjadi fondasi bagi kompetensi-kompetensi
lainnya: kompetensi
tekstual, kompetensi bidang keilmuan yang diterjemahkan, kompetensi budaya, dan
kompetensi transfer.
10. Apa
topik penelitian yang akan anda lakukan dan mengapa hal itu menarik bagi anda?
Jawaban:
Yang akan menjadi topik penelitian saya
adalah terjemahan kata-kata Kultural dalam Bible (Alkitab dalam Bahasa Inggris)
ke dalam Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak Toba). Hal ini sangat menarik bagi
saya karena penelitian tentang analisis terjemahan (misalnya kata-kata
kultural) dari Alkitab bahasa Inggris ke dalam Alkitab bahasa-bahasa daerah di
Indonesia, termasuk bahasa Batak Toba, belum banyak banyak dilakukan. Selain
itu rentang waktu yang terkandung dalam penulisan Bibel dan perbedaan budaya
serta jarak yang sangat jauh (antara tempat-tempat yang ada di Alkitab dengan
tempat berdiamnya masyarakat Batak Toba) tentu akan menjadi tantangan
tersendiri dalam menganalisa terjemahan kata-kata kultural yang ada pada Bibel.
Mau tanya gan, nababan yang 2008 tentang masalah penerjemahan itu dikutip dari bukunya yang mana ya?
BalasHapusbuku sumbernya dari mana ya?
BalasHapusbuku sumbernya dari mana ya?
BalasHapus