Laman

Jumat, 19 April 2013

Teori Penerjemahan



1.    Jelaskan mengapa penerjemahan itu pada umumnya sulit dilakukan?
Pembahasan:
a.       Kualitas Teks Bahasa Sumber:
Kesulitan dalam menerjemahkan bisa disebabkan oleh rendahnya kualitas teks sumber. Perlu diketahui bahwa tidak semua orang mampu menuangkan ide atau gagasan dengan baik. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai teks yang sulit dipahami isinya. Sulit dipahami karena teks tersebut tidak memenuhi aturan gramatikal, tidak koheren dan tidak kohesi, serta menimbulkan kebingungan (ambiguitas) sebelum teks tersebut diterjemahkan. Dari sini jelas akan muncul kesulitan-kesulitan yang lebih besar jika teks seperti ini dijadikan sebagai teks sumber suatu penerjemahan.
b.      Adanya perbedaan dalam sistem bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran
Hal pokok yang mendasari penerjemahan adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah dari dua atau lebih bahasa. Penerjemahan sangat menuntut pemahaman terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran dan bukan sekedar proses pencarian padanan kata. Penerjemahan sudah tentu bukanlah sesuatu yang mudah karena masing-masing bahasa memiliki sistem mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Nababan bahwa setiap bahasa memiliki struktur sintaksis, sintagmatik, leksikal, dan morfem yang berbeda dari sistem bahasa yang lainnya (2008:54).
c.       Adanya kerumitan dalam semantik dan stilistika
Semantik
Berbicara mengenai penerjemahan berarti berbicara mengenai makna. Makna memiliki cakupan yang luas dan cenderung bersifat subjektif. Dikatakan subjektif karena kata-kata tertentu memiliki makna tertentu pula bagi sebagian masyarakat dari suatu budaya. Misalnya kata “petani” bagi masyarakat di Indonesia pada umumnya diidentikkan dengan orang miskin. Namun di Amerika dan Eropa, “petani” justru identik dengan orang kaya yang memiliki tanah yang sangat luas (Nababan, 2008).
Stilistika
Bahasa merupakan alat pengungkap kebudayaan. Adanya perbedaan sosio budaya antar masyarakat kemudian menimbulkan perbedaan dalam mengungkapkan bahasa yang notabenenya merupakan bagian dari budaya (Nababan, 2008). Misalnya panggilan sapaan di antara masyarakat Jawa dan masyarakat Batak. Bagi orang Jawa, memanggil orang dewasa atau yang sudah berkeluarga, dengan langsung menyebut nama orang tersebut merupakan hal yang lumrah dan sah-sah saja. Namun bagi orang Batak, jika ingin memanggil mereka, yang disebutkan adalah marganya (misalnya Pak Pasaribu, Ibu Habeahan, dsb). Memanggil dengan menyebut nama mereka merupakan hal yang tidak sopan dalam budaya Batak. Untuk itulah penerjemah juga dituntut untuk memahami dengan baik budaya masyarakat bahasa sumber dan masyarakat bahasa sasaran.
d.      Penerjemahan menuntut kemampuan yang luas dalam mengkomunikasikan teks bagi pembacanya.
Penerjemahan memiliki fungsi yang sama dengan bahasa, yaitu mengkomunikasikan segala ide ataupun gagasan. Untuk itu teks yang diterjemahkan harus dapat mengkomunikasikan ide ataupun gagasan yang ada pada bahasa sumber. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah.
Penerjemahan bukan sekedar mencari padanan di tingkat kata, frasa, klausa, kalimat, ataupun teks. Tentang apa teks sumber tersebut (iptek, resep makanan, politik, ekonomi, sosial, dsb) dan kepada siapa teks tersebut ditujukan (anak-anak, ibu rumah tangga, mahasiswa, dsb) merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Dari sini dapat dilihat bahwa pemilihan diksi atau padanan yang paling tepat untuk mengkomunikasikan teks tersebut bukanlah hal yang mudah pula. Seorang penerjemah tidak mungkin menggunakan diksi yang hanya dipahami oleh orang dewasa ketika ingin menerjemahkan buku dongeng untuk anak.
e.       Penerjemahan menuntut kualitas dan kecepatan.
Penerjemahan tidak hanya menuntut kualitas namun juga kecepatan. Bagi para penerjemah profesional, mereka harus sering bekerja di bawah tekanan. Seringkali waktu yang diberikan (misalnya oleh penerbit) sangat minim sehingga mereka harus bekerja di bawah target deadline. Padahal menerjemahkan itu sendiri dimulai dengan membaca keseluruhan isi teks sumber. Dengan demikian akan muncul beban untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas di bawah tekanan deadline. Jumlah ataupun besaran teks yang diterjemahkan sering tidak sesuai dengan waktu (kurang) yang seharusnya.


2.   Jelaskan dalam hal apa saja teks bahasa saran harus sepadan dengan teks sumbernya?
Pembahasan:
Masalah kesepadanan muncul karena adanya perbedaan sistem gramatikal, semantik, sosio-budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan sebagai inti dari suatu penerjemahan, pencarian padanan akan menggiring kita ke konsep keterjemahan dan ketakterjemahan (Nababan, 2008). Masalah kesepadanan terjadi di banyak tingkatan atau tataran. Tataran kesepadanan yang akan diuraikan di bawah ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Mona Baker dalam bukunya In Other Words (1992):
A.    Padanan pada tataran kata.
Kata merupakan unit yang pertama yang akan di uraikan maknanya ketika menerjemahkan. Dalam menguraikan makna kata atau padanan suatu kata ada 3 analisis yang perlu diterapkan:
1.       Analisis struktural atau analisis morphem.
Hal ini dilakukan dengan menguraikan morfem-morfem pembentuk kata bahasa sumber. Misalnya kata recharge yang terdiri dari morfem re dan charge yang memiliki arti ‘to charge again’.
2.      Analisis komponen makna
Analisis ini dilakukan dengan menguraikan makna suatu kata dalam bahasa sumber. Dengan analisis ini kita akan menemukan bahwa sering kali suatu kata dalam bahasa sumber padanannya akan terdiri dari beberapa kata dalam bahasa sasaran (Baker, 1992:11 dan Nababan, 2008:98). Misalnya kata nap yang berarti tidur siang dalam bahasa Indonesia.
Dalam menemukan padanan kata seringkali juga kita menghadapi bahwa padanan kata tersebut tak tersedia atau tak ada dalam bahasa sasaran. Inilah yang kemudian kita sebut dengan ketidaksepadanan. Ada berbagai jenis dan tingkat kesulitan yang beragam pada sifat ketidaksepadanan tersebut. Baker (1992) membagi ketaksepadanan pada tataran kata menjadi 11 jenis:
1.         Konsep khusus budaya
Suatu kata dalam bahasa sumber bisa saja mengungkapkan suatu konsep yang sama sekali tidak dikenal atau tidak ada dalam budaya bahasa sasaran. Hal ini bisa saja berkaitan dengan agama, adat-istiada, atau jenis makanan. Contohnya adalah konsep mangongkal holi dalam adat – istiadat masyarakat Batak; konsep ini tidak dikenal dalam bahasa Inggris.
2.         Konsep bahasa sumber yang tidak tersedia dalam bahasa sasaran
Suatu konsep bahasa sumber bisa saja diungkapkan dengan konsep yang dikenal dalam bahasa budaya bahasa sasaran tetapi bahasa sasaran tidak mempunyai kata untuk mengungkapkannya. Contohnya adalah sangsang (baca: saksang), makanan khas masyarakat Batak. Banyak masyarakat nonBatak yang akrab dengan makanan ini, namun mereka tidak memiliki kata untuk mengungkapkan konsep yang dikandung oleh jenis makanan itu.
3.         Konsep bahasa sumber secara semantik sangat kompleks.
Ada kalanya sebuah kata mengungkapkan makna yang lebih rumit dibandingkan dengan sebuah kalimat. Misalnya kata bahasa Brasil arruacao yang dalam bahasa Inggris berarti “clearing the ground under coffe trees of rubbish and piling it in the middle of the row in order to aid in the recovery of beans dropped during the harvesting”.
4.         Perbedaan persepsi terhadap suatu konsep.
Contoh dari konsep ini adalah raining. Di dalam bahasa Inggris raining bisa saja berarti “kehujanan”. Namun dalam bahasa Indonesia sendiri, raining bisa memiliki arti kehujanan (tanpa sepengetahuan) dan hujan-hujanan (dengan sepengetahuan).
5.         Tidak adanya unsur atasan (superordinat) dalam bahasa sasaran.
Suatu bahasa mungkin saja memiliki unsur bawahan atau khusus namun tidak memiliki unsur atasan (superordinat) yang menunjuk pada suatu objek atau konsep. Bahasa Indonesia misalnya memiliki unsur atasan fasilitas yang menunjuk pada beberapa unsur bawahan seperti peralatan, bangunan. Bahasa Rusia sebaliknya tidak.
6.         Tidak adanya unsur bawahan (hiponim) pada unsur bawahan.
Unsur bawahan (hiponim) dalam suatu bahasa sumber belum tentu terdapat pada bahasa sasaran. Misalnya kata house yang memiliki hiponim bungalow, cottage, croft, chalet, lodge, hut, hall, manor, dan villa. Sebagian dari hiponim ini ada padanannya dalam bahasa Indonesia namun sebagian tidak.
7.         Perbedaan dalam perspektif interpersonal dan fisik.
Perspektif fisik bisa saja lebih penting bagi suatu bahasa. Perspektif fisik menunjukkan hubungan orang dalam suatu wacana. Dalam bahasa Jawa misalnya, kata yang digunakan ketika berbicara dengan teman sebaya pasti berbeda dengan kata yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
8.         Perbedaan dalam hal makna ekpresif
Beberapa kata atau kelompok kata, baik dalam bahasa sumber maupun dalam bahasa sasaran, mungkin saja memiliki makna proposisi yang sama namun berbeda makna ekspresinya. Contoh dari hal ini adalah Tutup mulutmu! dan Diam!. Kedua contoh ini memiliki makna proposisi yang sama karena mengisyaratkan orang lain untuk berhenti berbicara. Akan tetapi, makna ekspresif yang dikandung oleh kedua ungkapan itu berbeda satu sama lain. Tutup mulutmu! digunakan jika kita merasa perkataan seseorang sangat menjengkelkan kita.
9.         Perbedaan bentuk kata
Pembentukan kata dalam masing-masing bahasa tidaklah sama. Meskipun ada kesamaan irama dalam pembentukan kata (Inggris: employer/employee, trainer/trainee; Indonesia: penatar/petatar, pengajar/pembelajar), dalam kasus tertentu awalan, imbuhan, dan akhiran yang diberikan pada suatu kata untuk membentuk pengertian baru tidak selalu menghasilkan padanan yang sama. Misalnya drinkable tidak seharusnya disebut dapat diminum, melainkan cocok untuk diminum.
10.     Perbedaan dalam hal tujuan dan tingkat penggunaan bentuk-bentuk tertentu
Suatu bentuk kata bisa saja sudah ada padanannya dalam bahasa sasaran. Namun perlu diketahui bahwa ada perbedaan tujuan dan tingkat penggunaan bentuk kata tersebut dalam bahasa sasaran. Bahasa Inggris, misalnya, sering menggunakan bentuk verb+ing untuk menggabungkan klausa
11.     Penggunaan kata pinjaman dalam teks sumber.
Saat suatu kata asing dipakai dalam suatu bahasa maka arti dari kata asing tersebut tidak dapat ditebak atau dikendalikan. Kata pinjaman bisa saja melahirkan makna yang berbeda. Misalnya feminist dalam bahasa Inggris berarti a person who supports the belief that women should have the same rights and opportunities as men. Namun dalam bahasa Jepang feminist berarti a man who is excessively soft with women.

Masalah-masalah ketidaksepadanan di atas perlu dinilai arti pentingnya. Tidak semua masalah ketaksepadanan tersebut penting. Untuk memecahkan masalah ketaksepadanan pada tingkatan kata ini ada beberapa strategi yang dapat digunakan:
1.         Menggunakan kata yang lebih umum (superordinat).
2.         Menggunakan kata yang lebih netral atau lebih ekspresif.
3.         Menggunakan substitusi kebudayaan.
4.         Menggunakan kata pinjaman atau kata pinjaman yang dilengkapi dengan penjelas.
5.         Memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan.
6.         Memparafrase dengan menggunakan kata yang tidak berhubungan.
7.         Melakukan penghapusan/penghilangan kata.
8.         Menerjemahkan dengan menggunakan gambar/ilustrasi.

B.     Padanan di atas tataran kata
1.         Kolokasi
Suatu kata memiliki kecenderungan untuk bersanding atau berkolokasi dengan kata lain. Kolokasi ini kemudian menghasilkan frasa. Misalnya kata roda biasanya bersanding dengan kata sepeda, mobil, dan truk. Namun pola sanding atau kolokasi seperti ini tidak bisa menuntun kita untuk membentuk suatu frasa. Misalnya, walaupun carry out, undertake, dan perform selalu bersanding dengan kata visit. Namun para pengguna bahasa Inggris lebih cenderung menggabungkan pay dengan a visit (to pay a visit) daripada make dengan a visit (to make a visit). Selain itu kolokasi juga belum atau tidak dapat digunakan untuk menentukan makna suatu kata. Misalnya kata dry yang biasanya bersanding dengan kata-kata cow, bread, dan wine. Pada kata-kata ini kata dry berbeda sekali dengan makna umumnya (dry cow= sapi yang tidak menghasilkan susu; dry bread=roti yang dimakan tanpa begitu saja, tanpa selai dsb, dry wine= anggur yang tidak manis).
Kolokasi juga memungkinkan kita untuk membentuk dua macam frasa, yaitu frasa endosentris dan frasa eksosentris. Frasa endosentris adalah frasa yang terdiri dari unsur inti dan unsur pewatas. sedangkan frasa eksosentris merupakan frasa yang tidak memiliki unsur inti maupun unsur pewatas. Frasa endosentris contohnya seperti di atas, dry cow. Cow merupakan inti sedangkan dry merupakan pewatasnya.
2.         Ungkapan idiomatik
Ungkapan idiomatik merupakan frasa eksosentrik. Ungkapan ini tidak memiliki unsur inti maupun unsur pewatas. Arti dari ungkapan idiomatik pun sudah bersifat baku. Dan idiom sering memuat makna yang tidak dapat disimpulkan berdasarkan kata-kata pembentuknya. Misalnya to kick the bucket yang artinya bunuh diri, tidak ada hubungannya dengan kick dan bucket. Untuk lebih paham dan mudah menemukan padanan frasa eksosentrik maka kita harus familiar dengan berbagai macam idiom bahasa sumber dan bahasa sasaran.
C.    Padanan gramatikal
Padanan gramatikal selalu dikaitkan dengan dua dimensi utama, yaitu: morfologi dan sintaksis.
1.     Morfologi
Morfologi berkaitan dengan struktur kata yang menandakan perbedaan sistem gramatikal suatu bahasa. Contoh yang paling sering dan paling mudah diamati adalah penjamakan kata benda. Dalam bahasa Inggris jika ingin menuliskan bentuk jamak dari suatu kata benda cukup memberikan akhiran tertentu (mis, -s, -es, -ies, etc) pada bentuk tunggalnya. Sementara dalam bahasa Indonesia penjamakan dilakukan dengan pengulangan ataupun pemberian kata yang bermakna jamak sebelum bentuk tunggalnya (misalnya beberapa, semua, sebagian).
2.     sintaksis
Sintakis berkaitan dengan struktur gramatikal kelompok kata, clausa dan kalimat. Sintaksis berusaha mengkaji jenis kata (kata benda, kata kerja, kata sifat dan kata keterangan) serta unsur-unsur pembentuk kalimat (subjek, predikat, objek).
Padanan gramatikal yang mencakup sintaksis terpusat pada konsep antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam hal jumlah (number), gender, person, tenses dan aspek, dan voice.
a.       Number
Konsep keterhitungan merupakan sesuatu yang universal. Dalam bahasa Inggris, secara gramatikal, konsep jamak diungkapkan dengan morfologi (seperti di atas). Dalam bahasa Cina bentuk jamak bisa saja sama dengan bentuk tunggalnya, misalnya untuk my book dan my books: wo-de-shu. Dalam bahasa Eskimo penjamakan tidak hanya dimulai dengan yang lebih dari satu, namun dengan yang lebih dari dua, misalnya iglu, igluk dan iglut (satu/dua/dan lebih dari dua rumah).
b.      Gender
Gender menyandangkan feminis dan maskulin pada kata ganti dan kata benda baik kata benda yang bergerak maupun kata benda yang tak bergerak. Bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa yang membedakan gender feminim dan maskulin pada kata bendanya, misalnya fils/fille (‘son/daughter’). Dalam bahasa Inggris gender ditandakan dengan lexicalnya, misalnya doe dan stag (rusa betina dan rusa jantan).
c.       Persona
Pada umumnya banyak bahasa yang secara gramatikal memiliki 3 jenis kata ganti, yaitu kata ganti orang pertama (Saya, kita), kata ganti orang kedua (kamu, kalian), dan kata ganti orang ketiga (Dia, ini/itu, mereka). Namun dalam beberapa bahasa juga terdapat kata ganti orang keempat (95).
d.      Tense and aspect
Banyak bahasa dimana kala dan aspek merupakan kategori gramatikalnya. Contohnya adalah bahasa Inggris. Pada bahasa ini kata kerjanya (misalnya cried, cry, is crying, will be crying, have been crying)mengandung dua informasi, yaitu: hubungan waktu dan perbedaan aspek. Waktu berkaitan dengan saat terjadinya sesuatu (kala lalu, kala kini, atau kala yang akan datang). Sementara itu aspek berhubungan dengan lamanya atau periode suatu kata kerja (sementara, sedang berlangsung, sudah berlangsung).
Sementara itu pada bahasa Indonesia tidak ada kata kerja yang menandakan kala maupun aspek. Kala ataupun aspek dapat diketahui dari kata keterangan yang menyertai kata kerjanya (misalnya sedang, sudah, akan).
e.       Voice
Penerjemahan kalimat aktif menjadi kalimat aktif tidak selalu bisa diterapkan dalam bahasa sasaran. Please be seated! yang artinya Silahkan duduk! misalnya akan salah besar jika diterjemahkan Silahkan diduduki. Oleh karena itu kalimat aktif suatu bahasa sumber bisa saja lebih atau memang sepadan dengan kalimat pasif bahasa sasaran. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Sebelum menerjemahkan suatu kalimat ke bahasa sasaran, ada baiknya diperhatikan bagaimana pandangan suatu masyarakat tentang kalimat pasif. Di Jepang misalnya, kalimat pasif sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan tidak menyenangkan (107).
Selain kelima hal di atas, hal yang perlu diperhatikan dalam hal sintaksis adalah susunan kata. Dalam beberapa bahasa, susunan sujek, predikat, maupun objek bisa saja baku atau teratur. Namun di beberapa bahasa susunan subjek, predikat maupun objek yang berbeda tidak menandakan makna yang berbeda pula. Misalnya dalam bahasa Rusia, baik Ivan videl Borisa maupun Borisa videl Ivan sama-sama berarti ‘John saw Boris’.
D.     Padanan pada tataran teks
Padanan pada tataran teks dimulai dari klausa. Klausa yang mengandung satuan pesan dianalisa struktur tema dan struktur informasinya. Setelah itu teks dianalisa kekohesiannya. Kekohesian merupakan keterpaduan antara kata, gramatikal dan lainnya dalam suatu teks. ada 5 penanda kohesi dalam suatu teks, yaitu: reference (kata acuan/rujukan), substitution (kata pengganti), ellipsis (penghilangan kata), conjunction (kata penghubung), dan lexical cohesion (kata yang saling berkaitan).
E.     Padanan pada tataran pragmatik
Padanan itu pada tingkat pragmatik bersifat subjektif atau menyinggung makna suatu terjemahan bagi pendengar ataupun pembaca suatu terjemahan (pengguna bahasa). Padanan pada pragmatik harus bersifat koheren.
Kokoherensian suatu teks merupakan hasil interaksi antara pengetahuan yang ada pada teks dan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh para pembacanya. Pengetahuan dan pengalaman tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti usia, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendidikan, pekerjaan, agama, dsb. Untuk itulah suatu teks bisa saja koheren bagi sekelompok pembaca namun tidak bagi yang lainnya. Singkatnya, pengetahuan dan budaya seorang akan menentukan seberapa besar seorang pembaca menghayati teks terjemahan yang dia baca.


3.    Apa tujuan penerjemah dalam menerapkan berbagai teknik penerjemahan?
Pembahasan:
Seorang penerjemah akan selalu bergelut dengan dua bahasa ketika akan menerjemahkan. kedua bahasa (sumber dan sasaran) sudah tentu memiliki banyak perbedaan, mulai dari struktur hingga budayanya. Perbedaan-perbedaan inilah kemudian yang sering menjadi kendala bagi para penerjemah. Untuk mengatasi hal tersebut maka para penerjemah dapat menggunakan berbagai teknik penerjemahan yang telah ada. Teknik-teknik tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk mengatasi kebingungan saat menerjemahkan (Molina & Alber, 2002: 48).
Teknik-teknik penerjemahan dapat membantu penerjemah dalam menjawab dua pertanyaan yang muncul saat berlangsungnya proses menerjemahkan; pilihan apa (misalnya metode) yang telah diambil oleh penerjemah dalam mengerjakan proyek terjemahan? dan bagaimana penerjemah memecahkan masalah-masalah yang muncul saat berlangsungnya proses penerjemahan?
Penggunaan teknik-teknik penerjemahan juga akan membantu penerjemah dalam menentukan bantuk dan struktur kata, frasa, kluasa dan kalimat terjemahannya. Selain itu penerjemah juga akan terbantu dalam menentukan padanan yang paling tepat dalam bahasa sasaran. Dengan demikian kesepadanan terjemahan secara menyeluruh dapat diterapkan pada berbeagai satuan lingual. Selain itu penggunaan teknik tidak hanya menghasilkan terjemahan yang akurat namun juga berterima dan mudah terbaca oleh pembaca teks sasaran (Nababan).

4.   Mengapa proses penerjemahan disebut sebagai 1) proses pemecahan masalah dan 2) proses pengambilan keputusan?
Pembahasan
Sama seperti yang disebutkan di atas, proses penerjemahan berusaha menjawab dua pertanyaan: pilihan apa yang diambil penerjemah dan bagaimana dia memecahkan masalah yang timbul saat berlangsungnya proses penerjemahan. Dua pertanyaan ini secara langsung
a.    Proses penerjemahan disebut sebagai proses pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan:
Didalam menerjemahkan penerjemah dituntut untuk memahami dengan baik bahasa sumber dan bahasa sasaran yang notabenenya berbeda satu sama lain dalam berbagai hal dan tingkatan (gramatikal, sintaksis, dsb). Untuk dapat menerjemahkan dengan baik maka penerjemah harus bisa menangkap isi, makna dan pesan yang terkandung dalam teks sumber.
Hal ini diawali dengan membaca teks dan menganalisanya mulai dari tingkatan kata, frasa, klausa, kalimat hingga teks itu sendiri. Dengan membaca dan menganalisa teks sumber maka akan timbul pertanyaan tentang bagaimana cara menyampaikan isi, makna dan pesan tersebut ke dalam bahasa teks sasaran: apakah yang digunakan transposition, modulasi, equivalence atau adaptation, apakah kalimat kompleks tetap diterjemahkan menjadi kalimat kompleks atau diterjemahkan ke dalam beberapa kalimat sederhana, kamus monolingual atau kamus bilingual kah yang harus digunakan, dan sebagainya.
Teknik-teknik yang diterapkan merupakan strategi untuk memecahkan semua persoalan yang ada dalam menerjemahkan. Semua keputusan yang diambil oleh seorang penerjemah dalam memecahkan berbagai masalah menggambarkan bahwa seorang penerjemah memiliki kuasa penuh dalam menentukan berbagai hal. Dia memiliki kuasa untuk menentukan apakah terjemahan disesuaikan dengan norma dan budaya bahasa sasaran atau mempertahankan norma dan budaya teks sumber, bagaimana susunan kata, istilah, struktur kalimat, dan susunan gagasan dalam terjemahan, apakah suatu ungkapan perlu dihilangkan atau dibiarkan seperti aslinya, apakah suatu kata atau istilah perlu diberi informasi tambahan, dan sebagainya. Pembuatan keputusan-keputusan tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kompetensi kebahasaan, tekstual, kultural, bidang ilmu, transfer dan bahkan latar belakang penerjemah tersebut.


5.   Apa saja faktor penyebab proses penerjemahan menjadi sangat lamban?
Pembahasan:
a.       Kualitas teks sumber:
Teks sumber merupakan pijakan dasar dalam proses penerjemahan. Cepat atau lambatnya suatu teks sumber diterjemahkan akan ditentukan dari kualitas teks tersebut. Teks yang baik adalah teks yang memiliki struktur yang benar, memperhatikan kohesi dan koherensi, dan tidak memunculkan keambiguan. Sedangkan teks yang berkualitas tidak baik memiliki struktur yang tidak benar, memunculkan keambiguan, tidak memperhatikan kohesi dan koherensi, dsb (Nababan, 2008). Teks sumber yang memiliki kualitas rendah nantinya pasti membutuhkan perbaikan terlebih dahulu. Ini berarti sebagian waktu yang digunakan dalam proses penerjemahan harus diberikan untuk memperbaiki teks sumber tersebut. Dengan demikian penerjemahan semakin lama diselesaikan.
b.      Kompetensi dan pengalaman penerjemah
Penerjemah, sebagai seorang yang vital dalam proses penerjemahan, sangat mempengaruhi tingkat kecepatan suatu proses penerjemahan. Ada berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah, antara lain; kecepatan membaca, kompetensi di bidang linguistik, kompetensi sosio-budaya, kompetensi di bidang tertentu (teknologi, kedokteran, pendidikan, dsb), kompetensi transfer, dan sebagainya. Penerjemah yang kompetensinya tidak memenuhi syarat seperti sudah pasti akan memerlukan waktu yang lebih lama dalam menerjemahkan.
Selain itu pengalaman dalam menerjemahkan juga akan turut berkontribusi pada tingkat kecepatan menerjemahkan seorang penerjemah. Penerjemah yang sedikit pengalamannya atau penerjemah pemula kemungkinan besar memerlukan waktu yang lebih lama dalam menerjemahkan suatu teks sumber.
c.       Kerumitan dalam mencari padanan (berkaitan dengan kompetensi linguistik)
Membuat teks sumber sepadan dengan teks sasaran, mulai dari kata, frasa, clausa, hingga kalimat bukanlah hal yang mudah. Proses pencarian padanan yang sulit inilah juga penyebab penerjemahan bisa saja berlangsung lebih lama. Biasanya pencarian padanan yang membutuhkan waktu lebih lama adalah padanan sosio-budaya.

6.   Jelaskan maksud dari penrnyataan ini: “ideologi penerjemahan tidak mungkin dapat diketahui apabila teknik dan metode penerjemahan tidak diungkapkan lebih dulu”!
Pembahasan:
Ketika membaca suatu karya terjemahan kita tidak seharusnya langsung mengklaim bahwa suatu teks diterjemahkan dengan ideologi foreinisasi ataupun domestikasi. Pernyataan atau klaim seperti ini terlalu dini dan terlalu luas cakupannya. Perlu diketahui bahwa penilaian ideologi didasarkan pada suatu teks sebagai keseluruhan. Dan dalam menilai suatu terjemahan kita seharusnya memulai dari unit yang terkecil, yaitu kata, kemudian frasa, klausa, dan kalimat. Dalam menilai unit-unit ini, yang kita perhatikan adalah metode dan teknik penerjemahannya; bagaimana cara menentukan padanan, bagaimana struktur kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam teks terjemahan. Analisa terhadap teknik dan metode penerjemahan yang digunakan akan memandu kita dalam memastikan ideologi yang digunakan oleh seorang penerjemah.
Mengenai metode penerjemahan, Newmark (1998: 45) membagi delapan metode penerjemahan ke dalam dua ideologi penerjemahan. Metode penerjemahan kata demi kata, penerjemahan harfiah, penerjemahan setia, dan penerjemahan semantik merupakan metode-metode yang menunjukkan ideologi foreinisasi karena metode-metode ini berorientasi pada bahasa sumber. Sedangkan metode penerjemahan adaptasi, penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik dan penerjemahan komunikatif merupakan metode-metode yang menunjukkan ideologi domestikasi. Metode-metode ini berorientasi pada bahasa sasaran.
Terkait dengan teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir (2002), Nababan (2008) membagi teknik-teknik tersebut ke dalam dua kelompok, yaitu yang berorientasi pada bahasa sumber (forenisasi) dan yang berorientasi pada bahasa sasaran (domestikasi). Teknik-teknik yang berorientasi pada bahasa sumber, yaitu peminjaman, calque dan penerjemahan harfiah. Sementara itu teknik-teknik yang berorientasi pada bahasa sasaran, yaitu adaptasi, amplifikasi, kompensasi, deskripsi, kreasi diskursif, kesepadanan lazim, generalisasi, ampilifikasi, kompresi linguistik, modulasi, parikularisasi, reduksi, substitusi, transposisi, variasi, penambahan dan penghilangan.


7.   Mengapa teks yang sama tidak mungkin diterjemahkan dengan cara yang sama oleh dua penerjemah yang berbeda?
Pembahasan (diambil dari jurnal Translation Process and Strategies: Two Case Studies (Nababan, 2007)):
Sebuah teks yang sama tidak mungkin diterjemahkan dengan cara yang sama karena masing-masing penerjemah memiliki strategi yang berbeda dalam menerjemahkan. Strategi  yang mereka pilih dan gunakan tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan dan pengetahuan mereka tentang bahasa sumber dan bahasa sasaran namun juga dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menerjemahkan. Strategi-strategi tersebut menyangkut pendekatan, teknik, dan hal lainnya yang berada di luar pendekatan dan teknik:
a.      Pendekatan:
ada dua macam pendekatan yang dapat dipilih oleh penerjemah ketika ingin menerjemahkan
1.      Bottom-up: penerjemah memulai proses penerjemahan dari tingkat mikro ke tingkat makro (kata à teks). Pendekatan ini dilakukan dengan cara langsung melakukan penerjemahan sambil membaca teks sumber.
2.      Top-down: penerjemah memulai proses penerjemahan dari tingkat makro menuju tingkat mikro (teks à kata). Pendekatan ini dilakukan dengan terlebih dahulu membaca teks sumber secara keseluruhan lalu mulai menerjemahkannya.
b.      Teknik
Ada berbagai macam teknik penerjemahan yang dapat digunakan oleh seorang penerjemah (mis adaptasi, amplifikasi, modulasi, transposisi, dsb). Teknik yang digunakan dapat saja berbeda. Salah satu cara untuk mengamati bagaimana seorang penerjemah menggunakan teknik adalah dengan penerjemahan sebuah kalimat yang panjang atau kompleks. Ada penerjemah yang berusaha mempertahankan kalimat sumber tersebut tetap menjadi sebuah kalimat kompleks. Namun ada juga penerjemah yang menerjemahkannya menjadi beberapa kalimat sederhana dengan tujuan meningkatkan keterbacaannya.
c.       Referensi yang digunakan dalam mencari padanan kata
Hal ini berkaitan dengan apa saja yang menjadi tumpuan seorang penerjemah ketika berusaha mencari padanan suatu kata dalam bahasa sasaran. Ada penerjemah yang hanya memanfaatkan kamus bilingual (misalnya kamus Indonesia – Inggris). Ada penerjemah yang menggunakan kamus monolingual (mis English-English) karena kamus jenis seperti ini dilengkapi dengan contoh penggunaan kata pada konteksnya. Ada juga penerjemah yang menggunakan kamus istilah khusus karena suatu kata pada suatu bidang tertentu memiliki makna yang jauh berbeda dari makna umumnya. Selain menggunakan kamus-kamus tersebut untuk menemukan padanan yang paling tepat, penerjemah juga dapat memanfaatkan berbagai buku, ensiklopedia, dan sumber internet lainnya, dan bahkan bertanya langsung kepada native speakers pengguna bahasa tersebut.
d.      Kemampuan menulis dan membaca penerjemah:
Meskipun para penerjemah memiliki pengetahuan yang baik tentang bahasa sumber dan bahasa sasaran, hal ini tidak menjamin mereka dapat menerjemahkan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya ketrampilan membaca dan menulis yang dimiliki oleh mereka. Seseorang bisa saja memahami isi suatu tulisan, namun karena dia tidak memiliki skill yang cukup dalam menulis, maka dia akan kesulitan dalam menyampaikan gagasan-gagasan yang ada dalam teks sumber. Begitu juga dengan kemampuan membaca. Seorang penerjemah memiliki kecepatan yang berbeda dalam membaca suatu teks yang akan diterjemahkan.
e.       Nilai yang dijunjung dalam menerjemahkan: keterbacaan atau keakuratan?
Sulitnya suatu teks untuk diterjemahkan kemungkinan akan memunculkan beberapa permasalahan bagi para penerjemah. Ada penerjemah yang berusaha menyampaikan pesan suatu teks sumber seakurat mungkin namun karena beberapa hal hasil terjemahannya kurang terbaca. Sebaliknya, ada penerjemah yang hasil terjemahannya memiliki nilai keterbacaan yang tinggi namun tidak menyampaikan pesan teks sumber secara akurat. Selain itu ada juga penerjemah yang berusaha menjaga keseimbangan antara keakuratan dan keterbacaan terjemahannya. Hal yang ini tidak mudah dilakukan, terlebih jika penerjemah dihadapkan dengan teks sumber yang memiliki kerumitan tinggi untuk diterjemahkan.
f.        Pengetahuan penerjemah tentang penulis teks sumber dan pembaca teks sasaran:
Masalah ini tampak sepele namun sebenarnya penting diketahui. Sebelum menerjemahkan sebaiknya penerjemah mencari tahu tentang penulis teks sumber. Bisa saja penulis merupakan penulis amatir sehingga teks sumber yang akan diterjemahkan memiliki banyak kesalahan gramatikal, diksi, dan lainnya. Atau bisa saja penulis merupakan orang yang bukan di bidangnya sehingga teks sumber terasa kaku.
Kepada siapa teks ditujukan merupakan hal yang sama pentingnya. Mengetahui hal ini akan membantu kita dalam menentukan dan memutuskan padanan, istilah teknis, dan struktur kalimat yang sesuai dengan kompetensi pembaca teks sasaran.


8.    Apa peran kompetensi wacana dalam proses penerjemahan
Jawaban:
Terjemahan memiliki fungsi sebagai alat komunikasi. Untuk itu menerjemahkan membutuhkan kompetensi-kompetensi lain di luar kompetensi kebahasaan. Dan salah satu kompetensi tersebut adalah kompetensi wacana.
Kompetensi wacana membantu kita dalam mengenali semua informasi yang ada pada suatu teks dengan lebih baik; usia, asal – muasal, serta kelas sosial segala semua orang yang ada di dalamnya. Selain itu kompetensi wacana membuat kita mampu memahami hubungan antara penulis dan pembaca, sarana yang digunakan dalam menyampaikan isyarat-isyarat serta fungsi suatu teks (Bell, 1991: 184). Kompetensi wacana akan membantu kita memahami sebuah teks sumber sebelum kita mengkomunikasikan teks sumber tersebut ke dalam bahasa lain.

9.       Mengapa kompetensi kebahasaan dipandang sebagai fondasi bagi kompetensi-kompetensi lainnya?
Jawaban:
Catford menyatakan bahwa setiap teori penerjemahan berhubungan erat dengan teori lingustik umum (1965:1). Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa pemahaman terhadap linguistik merupakan hal yang mendasar dalam penerjemahan.
Penerjemahan melibatkan dua bahasa yang berbeda morfologi, leksikal dan sintaksisnya. Untuk dapat memahami suatu teks sumber para penerjemah dituntut untuk memiliki kompetensi kebahasaan. Kompetensi kebahasan ini merupakan aplikasi dari teori- Dengan demikian para penerjemah mampu menganalisa makna dan pesan suatu teks sumber, mulai dari tataran kata, frasa, klausa dan kalimat. Begitu juga saat menerjemahkan teks tersebut. Untuk dapat menyampaikan pesan teks sumber dengan baik maka seorang penerjemah harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahasa sumber. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kompetensi kebahasaan merupakan hal yang pertama dibutuhkan, baik pada saat menganalisa teks sumber maupun pada saat menerjemahkannya pada bahasa sasaran.
Kompetensi kebahasaan kemudian diikuti dan menjadi fondasi bagi kompetensi-kompetensi lainnya: kompetensi tekstual, kompetensi bidang keilmuan yang diterjemahkan, kompetensi budaya, dan kompetensi transfer.


10.    Apa topik penelitian yang akan anda lakukan dan mengapa hal itu menarik bagi anda?
Jawaban:
Yang akan menjadi topik penelitian saya adalah terjemahan kata-kata Kultural dalam Bible (Alkitab dalam Bahasa Inggris) ke dalam Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak Toba). Hal ini sangat menarik bagi saya karena penelitian tentang analisis terjemahan (misalnya kata-kata kultural) dari Alkitab bahasa Inggris ke dalam Alkitab bahasa-bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Batak Toba, belum banyak banyak dilakukan. Selain itu rentang waktu yang terkandung dalam penulisan Bibel dan perbedaan budaya serta jarak yang sangat jauh (antara tempat-tempat yang ada di Alkitab dengan tempat berdiamnya masyarakat Batak Toba) tentu akan menjadi tantangan tersendiri dalam menganalisa terjemahan kata-kata kultural yang ada pada Bibel.


3 komentar: