#KAUM
MUDA BICARA INDONESIA
Menanti Ketegasan
Pemerintah Terhadap Kaum Punya
Berkenaan
dengan tema “Subsidi BBM untuk Siapa: Apa Kata Undang-undang dan Apa Katamu?”, saya
sangat setuju akan pikiran pokok yang disampaikan melalui artikel “Subsidi BBM
Hak Golongan Tidak Mampu, Itu Amanah UU” di www.darwinsaleh.com.
Pemerintah sudah saatnya bertindak tegas terhadap siapa saja yang memiliki daya
beli namun masih tetap menggunakan energi bersubsidi. Memiliki kendaraan
pribadi berarti harus bisa mandiri. Tidak menggantungkan beban BBM kepada
negeri. Karena sesungguhnya ini menutup hati dan nurani terhadap masalah ‘periuk’
NKRI.
Tiap
kali lewat SPBU acapkali kita harus menahan emosi. Bagaimana tidak, para
pemilik kendaraan tanpa rasa bersalah meminumkan premium ke mobil mereka. Ini
merupakan pandangan biasa dan sudah dilumrahkan di negeri ini. Memang akan
salah dan terlalu sederhana jika kita menganggap semua pemilik mobil adalah
kalangan mampu. Tapi akan lebih salah lagi jika kita membiarkan orang kaya
menggunakan BBM bersubsidi ke mobil mereka yang berharga ratusan juta hingga
milyaran rupiah. Ini sama dengan berdiam diri ketika melihat maling merampok
rumah kita sendiri.
Wacana pembatasan BBM bersubsidi
selalu digulirkan. Hal ini sangat penting karena realisasi subsidi dalam APBN
selalu melebihi pagu anggaran. 3 tahun terakhir realisasi subsidi BBM
menunjukkan pembengkakan yang mengkhawatirkan; 2011 sebesar 127,4% (165,2
triliun); 2012 sebesar 154,2% (211,9 triliun); 2013 (diperkirakan) sebesar 112%
(223,9 triliun). Selain itu BBM bersubsidi juga jauh lebih banyak digunakan
oleh kalangan mampu. Hal ini tentu mengharuskan pemerintah mencari cara guna
menyelamatkan APBN dan menekan penyelewengan BBM bersubsidi.
Ironis. Mungkin kata inilah yang
tepat untuk menggambarkan BBM bersubsidi. Ratusan triliun rupiah habis terbakar
sia-sia tiap tahunnya untuk subsidi yang tidak pro-keadilan. Jika dana subsidi
tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan pendidikan (ditambah dengan
pemberantasan korupsi) di seluruh bumi pertiwi, bukan tidak mungkin kita bisa
hidup lebih makmur dari negara-negara makmur. Pemerintah tidak perlu mencari
utang untuk memperbaiki sarana pendidikan, membangun Jembatan Selat Sunda, bandara-bandara
baru, jalan tol lintas sumatera, pelabuhan-pelabuhan-pelabuhan baru di
Indonesia Timur, dsb. Sayangnya hal ini mungkin masih sebuah mimpi. Keinginan
pemerintah untuk memanjakan dan meninabobokan masyarakat dengan subsidi BBM
sepertinya akan terus berlanjut. Hingga kini belum terlihat tindakan nyata
pemerintah untuk menyelamatkan BBM bersubsidi.
Akan terlalu naïf memang jika
subsidi 100% dihapuskan. Kita harus membuka mata bahwa masih ada 28,07 juta
rakyat yang hidup dalam kemiskinan (data BPS). Dan berbicara soal subsidi,
merekalah sebenarnya yang berhak 100% menerima segala bentuk subsidi. Untuk itu
pemerintah perlu menerbitkan UU yang mengharuskan setiap orang yang membeli BBM
bersubsidi harus menunjukkan “surat keterangan miskin”. Pemerintah juga bisa
menaikkan pajak kendaraan berlipat-lipat bagi mereka yang mampu namun ngotot dan ngeyel untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi.
Banyak usaha dan wacana yang
digulirkan agar BBM subsidi lebih tepat sasaran. Namun sayangnya usaha dan
wacana tersebut dinilai dan dirasa tidak efektif. Pada 2012 semua media dibanjiri
berita tentang konversi BBM ke gas. Sekarang wacana ini sudah sangat jarang
muncul. Januari 2013 Menteri ESDM Jero
Wacik menerbitkan Permen yang mewajibkan seluruh kendaraan Dinas, BUMN, dan
BUMD menggunakan BBM nonsubsidi. Permen ini juga dinilai tidak efektif dan
tidak berpengaruh signifikan terhadap usaha penyelamatan BBM. Pada 2012 data
BPS menunjukkan ada 94juta kendaraan di seluruh Indonesia. Dan untuk 2013
sendiri diperkirakan ada 7,3 juta motor dan 1,2 mobil terjual. Ini berarti ada
hampir 103 juta kendaraan yang ada di Indonesia. Berapa sih total jumlah
kendaraan Dinas, BUMN dan BUMD? Sungguh sangat kecil pengaruhnya bukan? Selanjutnya,
pengendalian BBM bersubsidi dengan menggunakan radio frequency identification (RFID) juga sudah beberapa kali batal
dan tertunda. Pertamina sendiri berharap RFID dapat diterapkan 1 Juni 2014
mendatang. Akankah langkah ini berhasil? Tentunya semua harus mendukung penuh
program yang menelan dana 800 miliar ini.
Bercermin dari berbagai
peraturan, kebijakan, dan program yang sudah ada dapat dikatakan bahwa kita
memerlukan Undang-Undang khusus yang betul-betul tegas dan tidak memberikan
peluang untuk terjadinya penyalahgunaan BBM bersubsidi. Penyelewengan BBM
bersubsidi harus dianggap sebagai kejahatan moral. Tidak hanya mengacaukan
keuangan Negara, namun secara langsung juga sudah merampas apa yang menjadi hak
orang miskin.
Tindakan kaum mampu menggunakan
BBM bersubsidi sama halnya dengan korupsi. Ketika mereka menggunakan BBM
bersubsidi, itu artinya mereka mencuri uang Negara yang diperuntukkan bagi
rakyat kecil demi kendaraan mahal mereka. Mau tidak mau kegiatan ekonomi Negara
akan menjadi imbasnya. Padahal sudah jelas bahwa saat mereka membeli mobil atau
motor mahal, mereka harus bisa mandiri dalam hal operasional kendaraan. Agar UU
ini dipatuhi oleh semua kalangan, maka sanksi yang dikenakan harus tegas dan
betul-betul menimbulkan efek jera terhadap setiap pelakunya. Misalnya; denda
hingga 5 kali pajak tahunan kendaraan, larangan mengoperasikan kendaraan selama
6 bulan, memunculkan nama foto kaum mampu yang menggunakan BBM bersubsidi di
berbagai media, dsb.
UU dan sanksi tegas sangat
diperlukan. Ini demi kepentingan yang lebih besar. Dengan demikian penerapan UU
berserta sanksi tersebut akan menciptakan orang kaya yang secara moral mampu mempertanggungjawabkan
kekayaannya bagi sesama dan Negara. Selanjutnya, UU dan sanksi yang dibuat tidak
hanya membuat orang kaya beralih ke BBM non-subsidi, namun juga membuat mereka
semakin mencintai lingkungan dan kendaraan mereka sendiri. Sudah menjadi
rahasia umum sebenarnya jika para pemilik kendaraan di negeri ini tidak terlalu
peduli dengan spesifikasi mesin kendaraan dan jenis BBM yang dibutuhkan. Hanya
kendaraan yang kompresi mesinnya dibawah 9:1 cocok menggunakan BBM bersubsidi
atau BBM beroktan 88. Untuk kendaraan yang berkompresi 9,1: 1 dan diatasnya
sudah wajib menggunakan BBM beroktan 92 (Pertamax) dan 95 (Pertamax Plus). Dan
jika melihat dari berbagai sumber, kendaraan roda empat yang berkompresi di
bawah 9:1 sudah hampir tidak ada lagi diproduksi. Rata-rata kendaraan baru harus
menggunakan BBM beroktan 92 atau lebih. Begitu juga dengan motor-motor keluaran
terbaru saat ini. Penggunaan BBM yang tidak sesuai dengan oktan akan
menimbulkan kerak pada mesin. Akibatnya ruang bakar menjadi tidak bersih dan overheat. Proses pembakaran pun
terganggu dan membuat performa mesin turun. Ini artinya pengendara harus mengeluarkan
uang yang jauh lebih banyak untuk reparasi. Selain itu BBM non-subsidi juga
mampu mengurangi polusi yang merupakan sumber pencemaran udara terbesar. Dengan
oktannya yang lebih tinggi, Carbon
monoxide (CO) dan hydrocarbon (HC) yang
dihasilkan oleh BBM non-subsidi jauh lebih kecil.
Selain itu pemerintah dan semua
pihak terkait juga harus konsisten dan berkomitmen untuk menelurkan UU,
kebijakan, ataupun program yang betul-betul mendukung larangan kaum mampu untuk
menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC) merupakan
salah satu bentuk ketidak-konsistenan terhadap UU di atas. Betapa tidak, di
saat daerah berusaha mengurangi polusi dan kemacetan dengan menyediakan
angkutan massal (seperti DKI Jakarta), pemerintah Pusat malah mengeluarkan
kebijakan mobil murah. Kebijakan ini juga tidak diiringi dengan peraturan yang
mewajibkan pemilik kendaraan untuk menggunakan BBM nonsubsidi. Akibatnya
orang-orang mampu namun tak bertanggungjawab akan semakin banyak jumlahnya.
Mereka beralih ke kendaraan pribadi dan enggan menggunakan sarana transportasi
massal. Dan sudah tentu jalanan akan semakin macet. Dan parahnya lagi, Negara
pasti akan menanggung beban subsidi BBM mereka. Tahun 2014 diperkirakan ada 180
ribu mobil murah yang akan terjual. Jika harga pertamax saat ini adalah 12.000
maka Negara menanggung beban subsidi mereka sebesar 5.500 rupiah/liternya. Dan
jika pemerintah memberikan subsidi untuk 5 liter perharinya, ini berarti
pemerintah harus membakar hampir 2 triliun rupiah untuk subsidi mobil murah
yang hanya terjual pada 2014. Belum ditambah dengan yang lainnya. Untuk 2014 saja
alokasi subsidi BBM sebesar 194,9
triliun. Nilai ini mungkin saja membengkak jika jatah BBM bersubsidi jebol dan
Rupiah semakin lemah terhadap Dollar.
Tidak dapat dipungkiri jika
perbedaan harga sangat menggoda para pemilik kendaraan. Jika hari ini pasaran
Pertamax (di Solo) adalah Rp. 12.000/liter, itu berarti berbeda Rp. 5.500/liter
atau hampir 2 kali harga BBM bersubsidi. Dari segi ekonomi, mungkin inilah
alasan utama penggunaan BBM bersubsidi oleh kaum mampu. Dan acapkali untuk
menyiasati ini pemerintah lebih memilih untuk menaikkan harga BBM bersubsidi
daripada menerbitkan UU yang mengharuskan penggunaan BBM nonsubsidi oleh pemilik
kendaraan pribadi.
Murahnya harga BBM bersubsidi
juga merupakan “godaan” tersendiri bagi para pelaku industry. Selain itu
keadaan ini juga merupakan salah satu factor utama terhambatnya perkembangan
berbagai energy alternatif. Untuk itu sudah saatnya pemerintah tegas untuk
mencopot BBM bersubsidi dan hanya memperuntukkannya bagi kalangan miskin dan
juga kendaraan umum.
Agar masyarakat mau menggunakan
BBM nonsubsidi, Pemerintah bersama Pertamina juga harus bisa membangun brand/image dari BBM nonsubsidi atau pertamax itu sendiri. Masyarakat
juga harus diyakinkan dan dibuat bangga, bahwa dengan menggunakan Pertamax
mereka sudah membantu membangun ekonomi bangsa. Ramainya kendaraan mengisi BBM
di SPBU asing (seperti di Jakarta) merupakan gambaran suksesnya mereka
membangun brand mereka di Indonesia. Aneh
kan bila Pertamina tidak mampu melakukannya di rumah sendiri?
Sarana transportasi massal juga
harus menjadi perhatian utama. Banyak masyarakat yang enggan menggunakan
transportasi umum karena masalah ketepatan waktu, kenyamanan, keamanan, dsb.
Padahal jika pemerintah berhasil menciptakan transportasi publik yang ramah
penumpang dan ramah lingkungan, maka kota-kota besar terhindar dari macet,
polusi pun berkurang, dsb.
Kesungguhan dan ketegasan
Pemerintah mengenai masalah BBM bersubsidi akan berperan besar dalam
menciptakan masyarakat sadar energi. Kita harus selalu ingat bahwa BBM
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Cadangan minyak
Indonesia saja dikabarkan hanya sampai 15-20 tahun lagi. Sementara kita butuh
ribuan hingga jutaan tahun untuk menunggu fosil menjadi minyak. Apa yang akan
tersisa buat anak cucu kita? SALAM INDONESIA…
“Tulisan
ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan
jiplakan”
Sumber:
·
www.darwinsaleh.com
·
Permen ESDM NO. 1 TAHUN 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar