Laman

Jumat, 31 Januari 2014

Menanti Ketegasan Pemerintah Terhadap Kaum Punya


#KAUM MUDA BICARA INDONESIA

Menanti Ketegasan Pemerintah Terhadap Kaum Punya

Berkenaan dengan tema “Subsidi BBM untuk Siapa: Apa Kata Undang-undang dan Apa Katamu?”, saya sangat setuju akan pikiran pokok yang disampaikan melalui artikel “Subsidi BBM Hak Golongan Tidak Mampu, Itu Amanah UU” di www.darwinsaleh.com. Pemerintah sudah saatnya bertindak tegas terhadap siapa saja yang memiliki daya beli namun masih tetap menggunakan energi bersubsidi. Memiliki kendaraan pribadi berarti harus bisa mandiri. Tidak menggantungkan beban BBM kepada negeri. Karena sesungguhnya ini menutup hati dan nurani terhadap masalah ‘periuk’ NKRI.



Tiap kali lewat SPBU acapkali kita harus menahan emosi. Bagaimana tidak, para pemilik kendaraan tanpa rasa bersalah meminumkan premium ke mobil mereka. Ini merupakan pandangan biasa dan sudah dilumrahkan di negeri ini. Memang akan salah dan terlalu sederhana jika kita menganggap semua pemilik mobil adalah kalangan mampu. Tapi akan lebih salah lagi jika kita membiarkan orang kaya menggunakan BBM bersubsidi ke mobil mereka yang berharga ratusan juta hingga milyaran rupiah. Ini sama dengan berdiam diri ketika melihat maling merampok rumah kita sendiri. 

Wacana pembatasan BBM bersubsidi selalu digulirkan. Hal ini sangat penting karena realisasi subsidi dalam APBN selalu melebihi pagu anggaran. 3 tahun terakhir realisasi subsidi BBM menunjukkan pembengkakan yang mengkhawatirkan; 2011 sebesar 127,4% (165,2 triliun); 2012 sebesar 154,2% (211,9 triliun); 2013 (diperkirakan) sebesar 112% (223,9 triliun). Selain itu BBM bersubsidi juga jauh lebih banyak digunakan oleh kalangan mampu. Hal ini tentu mengharuskan pemerintah mencari cara guna menyelamatkan APBN dan menekan penyelewengan BBM bersubsidi.

Ironis. Mungkin kata inilah yang tepat untuk menggambarkan BBM bersubsidi. Ratusan triliun rupiah habis terbakar sia-sia tiap tahunnya untuk subsidi yang tidak pro-keadilan. Jika dana subsidi tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan  pengembangan pendidikan (ditambah dengan pemberantasan korupsi) di seluruh bumi pertiwi, bukan tidak mungkin kita bisa hidup lebih makmur dari negara-negara makmur. Pemerintah tidak perlu mencari utang untuk memperbaiki sarana pendidikan, membangun Jembatan Selat Sunda, bandara-bandara baru, jalan tol lintas sumatera, pelabuhan-pelabuhan-pelabuhan baru di Indonesia Timur, dsb. Sayangnya hal ini mungkin masih sebuah mimpi. Keinginan pemerintah untuk memanjakan dan meninabobokan masyarakat dengan subsidi BBM sepertinya akan terus berlanjut. Hingga kini belum terlihat tindakan nyata pemerintah untuk menyelamatkan BBM bersubsidi.

Akan terlalu naïf memang jika subsidi 100% dihapuskan. Kita harus membuka mata bahwa masih ada 28,07 juta rakyat yang hidup dalam kemiskinan (data BPS). Dan berbicara soal subsidi, merekalah sebenarnya yang berhak 100% menerima segala bentuk subsidi. Untuk itu pemerintah perlu menerbitkan UU yang mengharuskan setiap orang yang membeli BBM bersubsidi harus menunjukkan “surat keterangan miskin”. Pemerintah juga bisa menaikkan pajak kendaraan berlipat-lipat bagi mereka yang mampu namun ngotot dan ngeyel untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Banyak usaha dan wacana yang digulirkan agar BBM subsidi lebih tepat sasaran. Namun sayangnya usaha dan wacana tersebut dinilai dan dirasa tidak efektif. Pada 2012 semua media dibanjiri berita tentang konversi BBM ke gas. Sekarang wacana ini sudah sangat jarang muncul.  Januari 2013 Menteri ESDM Jero Wacik menerbitkan Permen yang mewajibkan seluruh kendaraan Dinas, BUMN, dan BUMD menggunakan BBM nonsubsidi. Permen ini juga dinilai tidak efektif dan tidak berpengaruh signifikan terhadap usaha penyelamatan BBM. Pada 2012 data BPS menunjukkan ada 94juta kendaraan di seluruh Indonesia. Dan untuk 2013 sendiri diperkirakan ada 7,3 juta motor dan 1,2 mobil terjual. Ini berarti ada hampir 103 juta kendaraan yang ada di Indonesia. Berapa sih total jumlah kendaraan Dinas, BUMN dan BUMD? Sungguh sangat kecil pengaruhnya bukan? Selanjutnya, pengendalian BBM bersubsidi dengan menggunakan radio frequency identification (RFID) juga sudah beberapa kali batal dan tertunda. Pertamina sendiri berharap RFID dapat diterapkan 1 Juni 2014 mendatang. Akankah langkah ini berhasil? Tentunya semua harus mendukung penuh program yang menelan dana 800 miliar ini.

Bercermin dari berbagai peraturan, kebijakan, dan program yang sudah ada dapat dikatakan bahwa kita memerlukan Undang-Undang khusus yang betul-betul tegas dan tidak memberikan peluang untuk terjadinya penyalahgunaan BBM bersubsidi. Penyelewengan BBM bersubsidi harus dianggap sebagai kejahatan moral. Tidak hanya mengacaukan keuangan Negara, namun secara langsung juga sudah merampas apa yang menjadi hak orang miskin.

Tindakan kaum mampu menggunakan BBM bersubsidi sama halnya dengan korupsi. Ketika mereka menggunakan BBM bersubsidi, itu artinya mereka mencuri uang Negara yang diperuntukkan bagi rakyat kecil demi kendaraan mahal mereka. Mau tidak mau kegiatan ekonomi Negara akan menjadi imbasnya. Padahal sudah jelas bahwa saat mereka membeli mobil atau motor mahal, mereka harus bisa mandiri dalam hal operasional kendaraan. Agar UU ini dipatuhi oleh semua kalangan, maka sanksi yang dikenakan harus tegas dan betul-betul menimbulkan efek jera terhadap setiap pelakunya. Misalnya; denda hingga 5 kali pajak tahunan kendaraan, larangan mengoperasikan kendaraan selama 6 bulan, memunculkan nama foto kaum mampu yang menggunakan BBM bersubsidi di berbagai media, dsb.

UU dan sanksi tegas sangat diperlukan. Ini demi kepentingan yang lebih besar. Dengan demikian penerapan UU berserta sanksi tersebut akan menciptakan orang kaya yang secara moral mampu mempertanggungjawabkan kekayaannya bagi sesama dan Negara. Selanjutnya, UU dan sanksi yang dibuat tidak hanya membuat orang kaya beralih ke BBM non-subsidi, namun juga membuat mereka semakin mencintai lingkungan dan kendaraan mereka sendiri. Sudah menjadi rahasia umum sebenarnya jika para pemilik kendaraan di negeri ini tidak terlalu peduli dengan spesifikasi mesin kendaraan dan jenis BBM yang dibutuhkan. Hanya kendaraan yang kompresi mesinnya dibawah 9:1 cocok menggunakan BBM bersubsidi atau BBM beroktan 88. Untuk kendaraan yang berkompresi 9,1: 1 dan diatasnya sudah wajib menggunakan BBM beroktan 92 (Pertamax) dan 95 (Pertamax Plus). Dan jika melihat dari berbagai sumber, kendaraan roda empat yang berkompresi di bawah 9:1 sudah hampir tidak ada lagi diproduksi. Rata-rata kendaraan baru harus menggunakan BBM beroktan 92 atau lebih. Begitu juga dengan motor-motor keluaran terbaru saat ini. Penggunaan BBM yang tidak sesuai dengan oktan akan menimbulkan kerak pada mesin. Akibatnya ruang bakar menjadi tidak bersih dan overheat. Proses pembakaran pun terganggu dan membuat performa mesin turun. Ini artinya pengendara harus mengeluarkan uang yang jauh lebih banyak untuk reparasi. Selain itu BBM non-subsidi juga mampu mengurangi polusi yang merupakan sumber pencemaran udara terbesar. Dengan oktannya yang lebih tinggi, Carbon monoxide (CO) dan hydrocarbon (HC) yang dihasilkan oleh BBM non-subsidi jauh lebih kecil.

Selain itu pemerintah dan semua pihak terkait juga harus konsisten dan berkomitmen untuk menelurkan UU, kebijakan, ataupun program yang betul-betul mendukung larangan kaum mampu untuk menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC) merupakan salah satu bentuk ketidak-konsistenan terhadap UU di atas. Betapa tidak, di saat daerah berusaha mengurangi polusi dan kemacetan dengan menyediakan angkutan massal (seperti DKI Jakarta), pemerintah Pusat malah mengeluarkan kebijakan mobil murah. Kebijakan ini juga tidak diiringi dengan peraturan yang mewajibkan pemilik kendaraan untuk menggunakan BBM nonsubsidi. Akibatnya orang-orang mampu namun tak bertanggungjawab akan semakin banyak jumlahnya. Mereka beralih ke kendaraan pribadi dan enggan menggunakan sarana transportasi massal. Dan sudah tentu jalanan akan semakin macet. Dan parahnya lagi, Negara pasti akan menanggung beban subsidi BBM mereka. Tahun 2014 diperkirakan ada 180 ribu mobil murah yang akan terjual. Jika harga pertamax saat ini adalah 12.000 maka Negara menanggung beban subsidi mereka sebesar 5.500 rupiah/liternya. Dan jika pemerintah memberikan subsidi untuk 5 liter perharinya, ini berarti pemerintah harus membakar hampir 2 triliun rupiah untuk subsidi mobil murah yang hanya terjual pada 2014. Belum ditambah dengan yang lainnya. Untuk 2014 saja  alokasi subsidi BBM sebesar 194,9 triliun. Nilai ini mungkin saja membengkak jika jatah BBM bersubsidi jebol dan Rupiah semakin lemah terhadap Dollar.

Tidak dapat dipungkiri jika perbedaan harga sangat menggoda para pemilik kendaraan. Jika hari ini pasaran Pertamax (di Solo) adalah Rp. 12.000/liter, itu berarti berbeda Rp. 5.500/liter atau hampir 2 kali harga BBM bersubsidi. Dari segi ekonomi, mungkin inilah alasan utama penggunaan BBM bersubsidi oleh kaum mampu. Dan acapkali untuk menyiasati ini pemerintah lebih memilih untuk menaikkan harga BBM bersubsidi daripada menerbitkan UU yang mengharuskan penggunaan BBM nonsubsidi oleh pemilik kendaraan pribadi.
Murahnya harga BBM bersubsidi juga merupakan “godaan” tersendiri bagi para pelaku industry. Selain itu keadaan ini juga merupakan salah satu factor utama terhambatnya perkembangan berbagai energy alternatif. Untuk itu sudah saatnya pemerintah tegas untuk mencopot BBM bersubsidi dan hanya memperuntukkannya bagi kalangan miskin dan juga kendaraan umum.

Agar masyarakat mau menggunakan BBM nonsubsidi, Pemerintah bersama Pertamina juga harus bisa membangun brand/image dari BBM nonsubsidi atau pertamax itu sendiri. Masyarakat juga harus diyakinkan dan dibuat bangga, bahwa dengan menggunakan Pertamax mereka sudah membantu membangun ekonomi bangsa. Ramainya kendaraan mengisi BBM di SPBU asing (seperti di Jakarta) merupakan gambaran suksesnya mereka membangun brand mereka di Indonesia. Aneh kan bila Pertamina tidak mampu melakukannya di rumah sendiri?

Sarana transportasi massal juga harus menjadi perhatian utama. Banyak masyarakat yang enggan menggunakan transportasi umum karena masalah ketepatan waktu, kenyamanan, keamanan, dsb. Padahal jika pemerintah berhasil menciptakan transportasi publik yang ramah penumpang dan ramah lingkungan, maka kota-kota besar terhindar dari macet, polusi pun berkurang, dsb.

Kesungguhan dan ketegasan Pemerintah mengenai masalah BBM bersubsidi akan berperan besar dalam menciptakan masyarakat sadar energi. Kita harus selalu ingat bahwa BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Cadangan minyak Indonesia saja dikabarkan hanya sampai 15-20 tahun lagi. Sementara kita butuh ribuan hingga jutaan tahun untuk menunggu fosil menjadi minyak. Apa yang akan tersisa buat anak cucu kita? SALAM INDONESIA…

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”

Sumber:

·         www.darwinsaleh.com
·         Permen ESDM NO. 1 TAHUN 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar