Wuih… Ngeri amat hari ini rasanya!
Lagi asik2nya maen laptop tiba2 seorang laki-laki masuk ke konter pulsa yang saya jaga.
“Pak Lesman mana?” tanyanya dengan nada suara yang kurang enak didengar. Aku pun heran mendengar nama itu.
“Pak Lesman siapa bang?” tanyaku.
“Pak Lesman yang punya konter ini,” jawabnya, masih dengan nada yang kurang enak didengar juga. “Oh… Tulang Ricky maksudnya!”
Terus terang aku baru tahu kalau nama Tulang
ini adalah (Pak) Lesman. Ya maklumlah, dia kan sebenarnya saudara dari
kakak Ipar saya. Jadi wajar2 saja kalau saya tidak tahu. Lagian dalam
masyarakat (kami) Batak rumus untuk memanggil dan menyebut orang tua
adalah= sistem kekerabatan + nama panggoaran. Misalnya jika dia
merupakan saudara laki-laki dari ibu saya, maka saya harus memanggilnya
tulang. Dan karena biasanya panggoaran diambil dari nama anak pertama
maka kami akan memanggilnya dengan Tulang + nama anak pertama. Dan
contohnya adalah Tulang Ricky. Jadi jangan heran jikalau kami, terlebih
para generasi muda, tidak terlalu mengetahui nama paman, om, bibi,
tante, (dll) kami…
Well kembali ke cerita.
“emang mau apa Bang?” tanya ku penasaran.
“Mau nagih” katanya sambil mengatakan bahwa dia dari Bank Danamon dan mencoba untuk menjelaskan rincian jumlah tagihan.
“Lah apa ga lebih baik ntar siang aja langsung ama si tulangnya?” tanya saya.
“Uda telpon aja” katanya dengan nada memerintah.
“Busyet gile bener nech orang. Baru masuk uda nyuruh2!” gerutu saya dalam hati.
Saya pun kemudian menelpon Tulang Ricky. Dari awal sampe akhir telpon pertama hanya tut tut tut yang terdengar.
“Bang ga diangkat. Ntar siang aja ke sininya. Jam 1 atau jam 2-an gitu,” kataku lagi karena telpon pertama ga diangkat juga.
“Telpon lagi cepat!” katanya dengan nada memerintah.
Setelah beberapa kali mendengar kalimat dengan
nada perintah dan bentakan gitu, aku pun mengungkapkan kekesalanku.
Sambil menunggu telpon diangkat, “Bang saya ini bukan anak buah di sini.
Yang punya ini Tulang saya. Kalau ngomong baek-baek napa? Kayak gua
anak kecil aja pake main bentak2 gitu” ucapku dengan nada kesal. Dan
bukannya malah ngerti, eh malah lanjut bentak2 saya lagi. “Eh lu cari masalah lu, mau ajak berantem lu?” jawabnya dengan nada yang makin meninggi.
“Busyet… dibilang baek2 kaga ngerti juga nech orang…!!!”
Dan telpon pun diangkat. saya tidak terlalu
ingat rincian utang si tulang yang dia diskusikan dengan temannya di
luar yang menunggu di motor (masih sambil memegang telpon). Lagian itu
kan bukan urusan saya. Dan anehnya waktu dia berbicara dengan si Tulang
nadanya tidak sekasar saat berbicara denganku tadi. Owh… ternyata gara2
aku lebih muda makanya dia bentak2 gitu ya? Lagian buat apa ngeladenin
orang maen otot. (maaf bukannya hendak sombong) Sia2 donk orang tua saya
kuliahin saya jauh2, trus lagi ada masalah gini, langsung maen otot?
Sebelum meninggalkan konter pulsa mereka meninggalkan nomor hape MONY
(atasannya mungkin), dan menyuruh saya untuk mengirimkannya ke nomor si
Tulang.
Beberapa menit setelah itu, seorang pemuda yang
wajahnya lebih sangar datang ke konter. “Pulsa bang?” tanya saya. “Oh
nggak. Maaf bang, saya Mony, yang nomor hapenya ditinggalin. “Oo…” kata
saya sambil menceritakan sedikit tentang kejadian yang barusan.
“no hape abang (tulang Ricky) itu mana bang?” tanyanya padaku.
“Hape abang apa?” balasku.
“Esia Bang,” jawabnya.
“Yauda aku kasih yang nomer esianya aja ya,” dia pun langsung menelpon nomor esia si Tulang.
“Wah ga aktif bang,” katanya
“Yauda ke nomer simpati aja,” jawabku.
Dan akhirnya hapeku lah yang digunakan untuk
menelpon. “Oalah…” pikirku. Tapi abang yang satu ini, walaupun
tampangnya jauh lebih sangar, jauh lebih sopan waktu berbicara sama
saya.
Setelah berbicara dengan si Tulang, dia pun meninggalkan konter.
Kejadian ini membuat saya terheran – heran
dengan orang2 semacam ini (debt collector). Walaupun sudah dijelaskan
baik2, bahwa saya bukanlah orang yang mereka tuju dan ada baiknya
menunggu atau langsung menghubungi orangnya, mereka membentak saya
seenaknya, seolah-olah saya yang menunggak utang. Sementara saya
sebelumnya sudah mengatakan bahwa saya hanyalah seorang tamu yang sedang
berlibur di Jakarta dan membantu Tulang untuk menjaga konter pulsanya.
Dan saya tidak tahu-menahu masalah itu sama sekali.
Sesaat kemudian saya pun menghubungi Danamon
Access Center di (021) 3435 8888 untuk menyampaikan keluhan saya. Namun
layanan suara yang muncul sepertinya hanya untuk nasabah dan layanan dan
permasalahan nasabahnya. Telpon pun saya tutup.
Beginikah cara Debt Collector, penagih (atau
apapun namanya) Bank Danamon bekerja? Masuk dengan nada suara yang
tinggi, membentak-bentak, bahkan memerintah dengan seenaknya. Yang bukan
debitur aja diperlakukan seperti ini apalagi yang debitur gimana ya?
Apa salahnya untuk menghubungi sang debitur (siTulang)sebelum mendatangi
konter tadi?
Apakah cuma debt collector bank ini yang
seperti itu cara melakukan kerjanya? Atau jangan2 semua debt collector
yang begitu? Tentunya kita semua berharap tidak seburuk itu. Namun yang
jelas, kasus Irjen Octa tampaknya tidak dijadikan pelajaran bagi
Bank-bank saat ini untuk memberikan arahan yang benar bagi para debt-colletornya dalam melakukan penagihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar