Walaupun
bisa dihitung dengan jari, menjadi tourist guide buat saya merupakan
hal yang menyenangkan dan membanggakan. Menyenangkan karena (terus
terang) bisa makan gratis dan puas rasanya jika merasakan uang keringat
sendiri hehehe… Membanggakan karena secara langsung kita dapat mendengar
dan melihat kekaguman mereka akan peninggalan sejarah, kekayaan alam
dan keragaman budaya Indonesia kita. “Wow… It’s really beautiful!” pasti dan selalu terucap saat aku membawa mereka ke Pantai Parang Tritis. “Wow… This Church is really great!!!”
ucap mereka saat aku membawa mereka ke Gereja Katolik Ganjuran, Gereja
yang memiliki paduan arsitektur Eropa, Jawa, dan Hindu ini. Dan banyak
lagi ungkapan pujian akan kekaguman mereka pada kita. Selain itu dengan
menjadi tourist guide saya juga bisa mengaplikasikan bahasa Inggris saya
secara langsung. Maklum, sebagai lulusan Sastra Inggris dari salah satu
kampus swasta ternama di Jogja, saya sering malu dan minder jika
melihat orang-orang yang dengan lancarnya ngomong Inggris. Hehehe…
Namun tidak selamanya menjadi tourist guide
itu asik. Ada hal-hal yang tidak ingin kita alami dan tidak kita
harapkan yang membuat kita malu dan bahkan kewalahan ketika sedang
bersama turis yang kita pandu. Hal inilah yang saya alami saat saya
menemani seorang bule Prancis selama beberapa hari awal Juni yang lalu.
Namanya Bruno CA JxxX. Kami sebenarnya sudah cukup
lama berkenalan. Lewat facebook dia mengungkapkan rencananya untuk
mengunjungi beberapa daerah di Indonesia dalam rangka pengembangan fair tourism dan fair trade. Karena di saat kedatangannya kuliah saya sudah selesai, saya pun menawarkan diri saya untuk menjadi tour guidenya, dan syukurnya dia menerima. Saya pun semangat karena membayangkan betapa asiknya keliling Indonesia bersama bule.
Beberapa bulan kami selalu menyapa hingga muncul kemudian keragu-raguan akan keseriusannya untuk menjadikan saya sebagai tour guidenya.
Bagaimana tidak, setiap kali ditanyakan mengenai rincian perjalanannya
dia selalu menjawab, “I don’t know yet. It’s impossible to know now.”
Dan kecurigaan saya pun bertambah karena saat saya menawarkan diri untuk
menjemputnya di bandara Soeta Jakarta dia mengatakan, “No need, a good friend of mine will pick me up. thanks.”
Jawabannya membuat saya agak kaget karena sebelumnya dia sudah
bercerita bahwa hanya sayalah temannya berkomunikasi selama ini.
Akhirnya saya pun memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengannya.
Saya yang saat itu sudah tinggal dan kos di Solo kemudian memutuskan
untuk membeli tiket kereta ke Jakarta.
Sehari sebelum keberangkatan saya ke Jakarta (28
Mei) tiba-tiba saya mendapat sms dari Bruno yang menyatakan bahwa dia
sedang berada di Bali. Saya pun kaget (lagi). Soalnya dulu dia bilang
dia akan meng-sms saya begitu sampai di Soeta. Itu berarti dia sudah
beberapa hari ini dia berada di Indonesia dan tidak menepati janjinya.
Dia pun mengatakan bahwa dia akan terbang esok paginya (29/5) ke Jogja
dan meminta saya untuk menjemputnya pagi-pagi. Setelah pikir-pikir,
entah kenapa, saya pun memutuskan untuk mengiyakannya.
Esok subuhnya saya pun langsung menuju stasiun
Balapan dan menaiki kereta Pramex. Seturunnya di stasiun Maguwo saya pun
langsung menghampirinya. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang
sebentar kami pun langsung menuju Sosrowijayan untuk mencari penginapan.
Sesampainya di penginapan kami kemudian menyusun kegiatan dari pagi
sampai sore (sebelum saya berangkat ke Jogja). Kami pun sarapan,
berkeliling malioboro, menukar uang, dan membahas fair trade dan fair
tourism, dsbnya. Pada saat kebersamaan itu saya juga menyinggung apa
yang dijanjikannya sebelum kedatangannya ke Indonesia dengan begitu saya
tidak perlu membeli tiket ke Jakarta.
Dan karena tiket sudah terlanjur dibeli saya pun
mengatakan bahwa saya akan mempersingkat kunjungan saya ke Jakarta dan
akan kembali tanggal 4 juni untuk menemaninya mengunjungi beberapa
tempat, terutama di mana fair tourism dan fair trade dikembangkan di Jogja.
Well, tanggal 4 Juni saya pun sampai di Jogja. kali
ini saya harus menuju kawasan Prawirotaman, tempat penginapan barunya.
Mulai saat inilah saya akan lebih lama menghabiskan waktu bersama Bruno.
Dan mulai di sinilah muncul rasa-rasa tidak nyaman yang tidak saya
inginkan.
Hari pertama kami, dengan motor sewaan, pergi
menuju daerah Banyuraden. Kami ingin mengunjungi suatu tempat pengolahan
sampah plastik menjadi barang ketrampilan tangan. Ini merupakan kali
pertamanya saya ke sini. Berhubung tempatnya rada terpencil, saya pun
bertanya kepada orang-orang mengenai tempat yang saya cari. Begitu
tempat hampir ditemukan, eh si Bruno malah bilang, “I think we waste too
much time. We just go back now!”.
“Lha kok jadi gini nich bule,” pikir saya. Walau
saya sudah bilang tempatnya dekat lagi dia tidak peduli. “Why do we
waste too much time?” tanyanya lagi. “Busyet… emang cari tempat ini
gampang apa… Ya namanya biar dapet ya harus nanya lah. Masa gara-gara
tanya dibilang nyia-nyianin waktu! Of course it is not.” kataku padanya.
Akhirnya kami pun pulang dengan saya menyimpan rasa jengkel dalam hati.
“Rumahnya uda dapet, tinggal masuk, masak minta pulang!” perjalanan
selama 1 jam pun terasa sia-sia.
Esoknya, sesuai dengan rencana, kami menuju
perkebunan Buah Naga di daerah Glagah. Perjalanan ke sini membutuhkan
waktu 2 jam dengan motor. Sesampainya di sana, lagi-lagi ini bule ini
mencari masalah. Dia protes terhadap retribusi yang dikenakan untuk
masuk kawasan itu. Walaupun saya sudah menjelaskan bahwa itu merupakan
retribusi resmi untuk masuk kawasan wisata, dia tetap ngotot untuk tidak
membayar. “Ya udah mas, daripada masnya repot, masuk aja ga usah bayar
gapapa kok!” kata salah seorang petugas pada saya. “Bukan gitu
masalahnya mas. Ini bule dari kemaren udah reseh. Kalo di negara dia
masuk ke tempat wisata gratis, ya jangan disamain dengan di sini. Kalo
lagi di sini ya ikut aturan di sini!” kataku pada mereka. Bagaimana
tidak, masa hanya gara-gara retribusi yang cuma 8 ribu rupiah harus
berdebat dengan petugas? Ga lucu banget menurut saya. Walau berulang
kali saya menegaskan bahwa retribusi itu wajib dan resmi dia tetap tidak
mau bayar dan akhirnya bilang, “Let’s go back now!”
“What the…!!!” pikir saya. Ini bule betul2 gila
kali ya… Bayangin aja, perjalanan dari Jogja dengan motor itu makan
waktu 2 jam. “Masa gara-gara 8 ribu perak, begitu sampe dia langsung
minta pulang. Ga ngerasain capeknya bawa motor apa!!!” hatiku mulai
geram. Sebelumnya, saat berjalan-jalan di daerah Malioboro Jogja, saya
juga sempat merasa malu. Masa tukang parkir aja diajak berdebat
gara-gara duit parkir yang cuma seribu perak. Begitu juga saat makan di
restoran, dia juga berdebat dengan pihak restauran gara2 PPN 10%. “We
don’t pay like this in my country!” katanya. Walau sudah dijelaskan
dirinya ternyata susah dibuat untuk mengerti.
Akhirnya kami pun pulang menuju penginapan.
Sesampainya di penginapan aku pun langsung mengungkapkan kekesalanku.
Dan anehnya dia mendengarkan tanpa merasa bersalah sama sekali.
Kejengkelanku pun memuncak. Aku pun membentaknya dan mengatakan bahwa
aku akan meninggalkannya besok pagi. Aku malu kalau harus melihat dia
berdebat.
Setelah puas mengekspresikan rasa kekesalan, rasa
menyesal pun menghampiri saya. Terlebih dengan tingkahnya yang mendiami
saya selama semalaman penuh. Akhirnya esok paginya saya senyum dan
menyapanya. Saya bilang kalau kemarin itu saya tidak terlalu serius
untuk meninggalkannya. Dan setelah berbincang-bincang beberapa lama,
kami pun memutuskan untuk melakukan perjalanan.
Kali ini kami menuju Kaliurang. Dia ingin melihat
Puncak Merapi dari Kali Adem. Selesai memakirkan kendaraan, kami
langsung menanyakan kepada masyarakat setempat bagaimana kami bisa
mencapai Kali Adem. Dan ternyata harus menggunakan jasa ojek maupun jeep
sewaan. Lagi, Bruno bilang, “Let’s go back!” Sifat pelitnya terlihat
kambuh lagi. Dan sifat pelitnya mengalahkan rasa pengertian bahwa
mengendarai motor itu sangatlah melelahkan. Kami pun pulang menuju
penginapan.
Daripada makan ati liat bule yang sialan dan bau
kayak gini, akhirnya saya pun memilih untuk kembali ke Jakarta dan
mengubur mimpi untuk keliling Indonesia. Sorenya saya pun pamit. Dan
seperti yang saya duga sebelumnya, saya hanya mendapat ucapan
“terimakasih”.
Berdebat dengan petugas pos retribusi pariwisata,
tukang parkir, pelayan restauran membuatku berkata dalam hati,
“Mudah-mudahan ini bule sadar akan perbuatannya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar