Laman

Rabu, 27 Maret 2013

Bule (Prancis) Sialan…

Walaupun bisa dihitung dengan jari, menjadi tourist guide buat saya merupakan hal yang menyenangkan dan membanggakan. Menyenangkan karena (terus terang) bisa makan gratis dan puas rasanya jika merasakan uang keringat sendiri hehehe… Membanggakan karena secara langsung kita dapat mendengar dan melihat kekaguman mereka akan peninggalan sejarah, kekayaan alam dan keragaman budaya Indonesia kita. “Wow… It’s really beautiful!” pasti dan selalu terucap saat aku membawa mereka ke Pantai Parang Tritis. “Wow… This Church is really great!!!” ucap mereka saat aku membawa mereka ke Gereja Katolik Ganjuran, Gereja yang memiliki paduan arsitektur Eropa, Jawa, dan Hindu ini. Dan banyak lagi ungkapan pujian akan kekaguman mereka pada kita. Selain itu dengan menjadi tourist guide saya juga bisa mengaplikasikan bahasa Inggris saya secara langsung. Maklum, sebagai lulusan Sastra Inggris dari salah satu kampus swasta ternama di Jogja, saya sering malu dan minder jika melihat orang-orang yang dengan lancarnya ngomong Inggris. Hehehe…
Namun tidak selamanya menjadi tourist guide itu asik. Ada hal-hal yang tidak ingin kita alami dan tidak kita harapkan yang membuat kita malu dan bahkan kewalahan ketika sedang bersama turis yang kita pandu. Hal inilah yang saya alami saat saya menemani seorang bule Prancis selama beberapa hari awal Juni yang lalu.

Namanya Bruno CA JxxX. Kami sebenarnya sudah cukup lama berkenalan. Lewat facebook dia mengungkapkan rencananya untuk mengunjungi beberapa daerah di Indonesia dalam rangka pengembangan fair tourism dan fair trade.  Karena di saat kedatangannya kuliah saya sudah selesai, saya pun menawarkan diri saya untuk menjadi  tour guidenya, dan syukurnya dia menerima. Saya pun semangat karena membayangkan betapa asiknya keliling Indonesia bersama bule.
Beberapa bulan kami selalu menyapa hingga muncul kemudian keragu-raguan akan keseriusannya untuk menjadikan saya sebagai tour guidenya. Bagaimana tidak, setiap kali ditanyakan mengenai  rincian perjalanannya dia selalu menjawab, “I don’t know yet. It’s impossible to know now.” Dan kecurigaan saya pun bertambah karena saat saya menawarkan diri untuk menjemputnya di bandara Soeta Jakarta dia mengatakan, “No need, a good friend of mine will pick me up. thanks.” Jawabannya membuat saya agak kaget karena sebelumnya dia sudah bercerita bahwa hanya sayalah temannya berkomunikasi selama ini. Akhirnya saya pun memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengannya. Saya yang saat itu sudah tinggal dan kos di Solo kemudian memutuskan untuk membeli tiket kereta ke Jakarta.

Sehari sebelum keberangkatan saya ke Jakarta (28 Mei) tiba-tiba saya mendapat sms dari Bruno yang menyatakan bahwa dia sedang berada di Bali. Saya pun kaget (lagi). Soalnya dulu dia bilang dia akan meng-sms saya begitu sampai di Soeta. Itu berarti dia sudah beberapa hari ini dia berada di Indonesia dan tidak menepati janjinya. Dia pun mengatakan bahwa dia akan terbang esok paginya  (29/5) ke Jogja dan meminta saya untuk menjemputnya pagi-pagi. Setelah pikir-pikir, entah kenapa, saya pun memutuskan untuk mengiyakannya.

Esok subuhnya saya pun langsung menuju stasiun Balapan dan menaiki kereta Pramex. Seturunnya di stasiun Maguwo saya pun langsung menghampirinya. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang sebentar kami pun langsung menuju Sosrowijayan untuk mencari penginapan. Sesampainya di penginapan kami kemudian menyusun kegiatan dari pagi sampai sore (sebelum saya berangkat ke Jogja). Kami pun sarapan, berkeliling malioboro, menukar uang, dan membahas fair trade dan fair tourism, dsbnya. Pada saat kebersamaan itu saya juga menyinggung apa yang dijanjikannya sebelum kedatangannya ke Indonesia dengan begitu saya tidak perlu membeli tiket ke Jakarta.
Dan karena tiket sudah terlanjur dibeli saya pun mengatakan bahwa saya akan mempersingkat kunjungan saya ke Jakarta dan akan kembali tanggal 4 juni untuk menemaninya mengunjungi beberapa tempat, terutama di mana fair tourism dan fair trade dikembangkan di Jogja.
Well, tanggal 4 Juni saya pun sampai di Jogja. kali ini saya harus menuju kawasan Prawirotaman, tempat penginapan barunya. Mulai saat inilah saya akan lebih lama menghabiskan waktu bersama Bruno. Dan mulai di sinilah muncul rasa-rasa tidak nyaman yang tidak saya inginkan.
Hari pertama kami, dengan motor sewaan, pergi menuju daerah Banyuraden. Kami ingin mengunjungi suatu tempat pengolahan sampah plastik menjadi barang ketrampilan tangan. Ini merupakan kali pertamanya saya ke sini. Berhubung tempatnya rada terpencil, saya pun bertanya kepada orang-orang mengenai tempat yang saya cari. Begitu tempat hampir ditemukan, eh si Bruno malah bilang, “I think we waste too much time. We just go back now!”.

“Lha kok jadi gini nich bule,” pikir saya. Walau saya sudah bilang tempatnya dekat lagi dia tidak peduli. “Why do we waste too much time?” tanyanya lagi. “Busyet… emang cari tempat ini gampang apa… Ya namanya biar dapet ya harus nanya lah. Masa gara-gara tanya dibilang nyia-nyianin waktu! Of course it is not.” kataku padanya. Akhirnya kami pun pulang dengan saya menyimpan rasa jengkel dalam hati. “Rumahnya uda dapet, tinggal masuk, masak minta pulang!” perjalanan selama 1 jam pun terasa sia-sia.

Esoknya, sesuai dengan rencana, kami menuju perkebunan Buah Naga di daerah Glagah. Perjalanan ke sini membutuhkan waktu 2 jam dengan motor. Sesampainya di sana, lagi-lagi ini bule ini mencari masalah. Dia protes terhadap retribusi yang dikenakan untuk masuk kawasan itu. Walaupun saya sudah menjelaskan bahwa itu merupakan retribusi resmi untuk masuk kawasan wisata, dia tetap ngotot untuk tidak membayar. “Ya udah mas, daripada masnya repot, masuk aja ga usah bayar gapapa kok!” kata salah seorang petugas pada saya. “Bukan gitu masalahnya mas. Ini bule dari kemaren udah reseh. Kalo di negara dia masuk ke tempat wisata gratis, ya jangan disamain dengan di sini. Kalo lagi di sini ya ikut aturan di sini!” kataku pada mereka. Bagaimana tidak, masa hanya gara-gara retribusi yang cuma 8 ribu rupiah harus berdebat dengan petugas? Ga lucu banget menurut saya. Walau berulang kali saya menegaskan bahwa retribusi itu wajib dan resmi dia tetap tidak mau bayar dan akhirnya bilang, “Let’s go back now!”

“What the…!!!” pikir saya. Ini bule betul2 gila kali ya… Bayangin aja, perjalanan dari Jogja dengan motor itu makan waktu 2 jam. “Masa gara-gara 8 ribu perak, begitu sampe dia langsung minta pulang. Ga ngerasain capeknya bawa motor apa!!!” hatiku mulai geram. Sebelumnya, saat berjalan-jalan di daerah Malioboro Jogja, saya juga sempat merasa malu. Masa tukang parkir aja diajak berdebat gara-gara duit parkir yang cuma seribu perak. Begitu juga saat makan di restoran, dia juga berdebat dengan pihak restauran gara2 PPN 10%. “We don’t pay like this in my country!” katanya. Walau sudah dijelaskan dirinya ternyata susah dibuat untuk mengerti.

Akhirnya kami pun pulang menuju penginapan. Sesampainya di penginapan aku pun langsung mengungkapkan kekesalanku. Dan anehnya dia mendengarkan tanpa merasa bersalah sama sekali. Kejengkelanku pun memuncak. Aku pun membentaknya dan mengatakan bahwa aku akan meninggalkannya besok pagi. Aku malu kalau harus melihat dia berdebat.

Setelah puas mengekspresikan rasa kekesalan, rasa menyesal pun menghampiri saya. Terlebih dengan tingkahnya yang mendiami saya selama semalaman penuh. Akhirnya esok paginya saya senyum dan menyapanya. Saya bilang kalau kemarin itu saya tidak terlalu serius untuk meninggalkannya. Dan setelah berbincang-bincang beberapa lama, kami pun memutuskan untuk melakukan perjalanan.
Kali ini kami menuju Kaliurang. Dia ingin melihat Puncak Merapi dari Kali Adem. Selesai memakirkan kendaraan, kami langsung menanyakan kepada masyarakat setempat bagaimana kami bisa mencapai Kali Adem. Dan ternyata harus menggunakan jasa ojek maupun jeep sewaan. Lagi, Bruno bilang, “Let’s go back!” Sifat pelitnya terlihat kambuh lagi. Dan sifat pelitnya mengalahkan rasa pengertian bahwa mengendarai motor itu sangatlah melelahkan. Kami pun pulang menuju penginapan.

Daripada makan ati liat bule yang sialan dan bau kayak gini, akhirnya saya pun memilih untuk kembali ke Jakarta dan mengubur mimpi untuk keliling Indonesia. Sorenya saya pun pamit. Dan seperti yang saya duga sebelumnya, saya hanya mendapat ucapan “terimakasih”.
Berdebat dengan petugas pos retribusi pariwisata, tukang parkir, pelayan restauran membuatku berkata dalam hati, “Mudah-mudahan ini bule sadar akan perbuatannya…
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar