Laman

Rabu, 27 Maret 2013

Sayang Kendaraan, Cinta Lingkungan, Cinta Indonesia

artikel ini saya ikut sertakan dalam lomba #apaidemu yang diselenggarakan oleh Pertamina dengan Kompasiana.com sebagai medianya dan Puji Tuhan berhasil mendapatkan juara III

Di suatu acara debat tentang kenaikan harga BBM bersubsidi, seorang pejabat mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang boros energi. Pernyataan ini jelas membuat saya kaget. Bagaimana tidak, apa yang dikatakan oleh pejabat tersebut sangat bertentangan dengan realita yang ada. Mau bukti? Lihat saja antrian motor di SPBU. Tak peduli seberapa dekat atau seberapa pendek jarak antrian mereka dengan petugas SPBU (saat ingin mengisi bahasan bakar), sangat jarang dari mereka yang mendorong motor mereka dengan manual (kaki). Bahkan ada yang hanya mematikan mesin mereka pas giliran mereka tiba. Apakah terlalu berat untuk mendorong motor dengan kaki? Memang sich jumlah bahan bakar yang terbuang saat antri sangat sedikit. Namun jika semua pengendara motor yang antri di semua SPBU yang ada di Indonesia berbuat demikian, pastinya jumlah BBM yang terbuang sangat banyak bukan? Sia-sia lah subsidi yang diberikan oleh negara...
Semakin membaiknya perekenomian memang membawa berkah bagi sebagian banyak masyarakat, khususnya mereka yang ada di perkotaan. Hal ini memampukan mereka untuk membeli kendaraan. Mulai dari motor hingga mobil. Mulai dari yang harganya jutaan, hingga yang harganya miliaran. Beberapa tahun ini jumlah kendaraan meningkat dengan tajam. Namun sayangnya peningkatan ini tidak diimbangi dengan kesadaran terhadap konsumsi BBM oleh masyarakat kita.
Bertambahnya jumlah kendaraan tentu meningkatkan konsumsi BBM di dalam negeri. Termasuk konsumsi terhadap BBM bersubsidi atau premium. Dan tingginya konsumsi masyarakat terhadap premium subsidi ini secara langsung sudah, sedang, dan akan selalu membebani negara. Bagaimana tidak? Mari kita hitung jumlah rupiah yang dibakar oleh para pengendara ketika menggunakan BBM bersubsidi. Jika satu motor menghabiskan 10 liter bensin perbulannya, dan jika harga BBM non-subsidi adalah Rp. 9.000, maka subsidi negara adalah Rp. 45.000, perbulannya atau Rp. 540.000, pertahunnya untuk satu motor. Dan bisa kah anda bayangkan jika jumlah ini dikalikan dengan jumlah motor yang ada di negeri kita ini, yang hingga 2012 jumlahnya mencapai 75 juta unit? (Data BPS dan AISI) Belum lagi jika ditambahkan dengan jumlah mobil, bis, truk dan berbagai jenis kendaraan lainnya. Untuk tahun 2012 subsidi BBM lebih dari Rp. 137 triliun dan akan meningkat menjadi Rp. 193,8 triliun pada tahun ini. Angka yang fantastis bukan? Bayangkan jika dana ini dialihkan untuk yang lainnya. Akan ada banyak sekolah, rumah sakit, jalan, dan berbagai sarana umum lainnya yang bisa dibangun. Pemerintah bahkan tak perlu pusing soal biaya pembangunan Jembatan Selat Sunda. Program pengentasan kemiskinan pun dapat dijalankan dengan lebih baik.
Selain itu, untuk menegaskan hal di atas, ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa kita tanyakan kepada diri sendiri: Seberapa besar sih pajak kendaraan yang kita setorkan bagi negara pertahunnya? Sebandingkah dengan subsidi yang kita terima? Ketika kita sekeluarga bersuka ria, berjalan-jalan dengan mobil, sadarkah kita bahwa dibalik kegembiaraan itu negara sedang mensubsidi BBM mobil kita?
Menggunakan pertamax merupakan salah satu cara untuk mengurangi beban negara terhadap subsidi energi umumnya dan BBM khususnya. Dengan menggunakan pertamax kita juga membantu pemerintah untuk mengalihkan dana subsidi ke hal-hal lain yang jauh lebih bermanfaat. Namun jangan salah, penggunaan pertamax bukan saja demi kepentingan negara, namun juga demi kepentingan pemilik kendaraan dan lingkungan.
Murahnya harga premium memang harus diakui sangat menggoda para pemilik kendaraan untuk berpaling dari pertamax. Murahnya harga premium juga telah membuat para pemilik kendaraan lupa bahwa kendaraan mereka tidak seharusnya minum premium. Berdasarkan data dari berbagai sumber, hanya kendaraan yang kompresi mesinnya di bawah 9:1 (sembilang banding satu) lah yang sebenarnya cocok menggunakan bahan bakar beroktan 88 atau premium. Untuk kendaraan yang kompresi mesinnya di atas 9:1 sudah seharusnya menggunakan bahan bakar beroktan diatasnya. Berdasarkan dari pengamatan di SPBU manapun, sebenarnya banyak motor dan mobil yang sudah seharusnya menggunakan BBM beroktan 92 (pertamax) dan bahkan beroktan 95 (pertamax plus).
Dilihat dari segi mesin, penggunaan BBM yang tidak sesuai dengan oktan akan menimbulkan kerak pada mesin yang dikarenakan timbal dari BBM yang beroktan lebih rendah. Akibatnya ruang bakar menjadi tidak bersih dan overheat. Proses pembakaran pun terganggu dan kemudian akan membuat performa mesin menurun. Jika muncul kerusakan di ruang bakar, maka kendaraan harus turun setengah mesin. Dan jika hal ini terjadi, sangat besar kemungkinannya bagi para pemilik kendaraan untuk mengeluarkan uang yang jauh lebih banyak untuk reparasi. Untuk itu penggunaan pertamax akan membantu para pemilik kendaraan mencegah hal-hal tersebut terjadi. Pertamax akan membuat proses pembakaran lebih sempurna sehingga mesin kendaraan jauh lebih awet dan performa kendaraan pun lebih baik. Selain itu, pertamax juga lebih irit, jarak yang dapat ditempuh dari tiap liter pertamax lebih jauh dibanding dengan premium.
Dari sudut pandang lingkungan, penggunaan pertamax juga sangat disarankan. Kenapa? Pertamax, seperti yang telah disinggung sebelumnya, membuat pembakaran lebih ramah lingkungan. Dengan kandungan bioetanol sebesar 5% maka emisi atau gas buang yang berbahaya bagi lingkungan pun dapat dikurangi. Dengan demikian, menggunakan pertamax juga berarti kita ikut serta dalam usaha mengurangi efek rumah kaca.
By the way kenapa harus pertamax? Kenapa bukan yang lain? Ada dua alasan kenapa harus memilih pertamax. Pertama, jika dibandingkan dengan produk sejenis dari perusahaan lain, pertamax kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Pertamax mengandung zat adiktif tambahan yang modern dan lebih baik. Zat adiktif ini mampu membersihkan mesin, mencegah karat dan menjaga kemurnian bahan bakar. Proses pembakaran pun akan berlangsung sempurna. Kedua, pertamax merupakan produk dari Pertamina yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara. Pertamax dibuat, dikelola, dan dipasarkan oleh anak-anak bangsa. Keuntungan dari penjual pertamax pun digunakan oleh negara. Dengan demikian menggunakan pertamax tidak hanya ikut merasakan dan mengapresiasi kehebatan anak-anak bangsa, namun juga ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa.
Dari penjelasan tentang pertamax di atas, ada beberapa cara untuk meningkatkan pengguna dan penggunaan pertamax oleh masyarakat:
Pertama, Pertamina harus selalu menekankan kepada masyarakat bahwa BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu kita harus menghargai setiap tetes BBM yang kita gunakan. Baik BBM bersubsidi ataupun BBM non-subsidi harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Kebiasaan boros akan merugikan banyak pihak, terlebih negara. Kebiasaan boros sudah seharusnya ditinggalkan. Hal ini bisa dilakukan dengan mewajibkan para pengendara motor yang mengantri di SPBU untuk mematikan mesin motor mereka dan mempersilahkan mereka untuk mendorong motor mereka secara manual (dengan kaki atau dituntun). Jika ingin bepergian dalam jarak dekat, lebih baik jalan kaki atau bersepeda. Untuk mahasiswa, misalnya, tidak perlu mengendarai motor jika hanya ingin makan di warung depan kos-annya (berdasarkan pengamatan saya sebagai anak kos hehe). Kita sering mengeluhkan bahwa jalan kaki atau naik sepeda bikin capek? “Ya, emang capek, tapi sehat kan?” Dan jangan salah, negara ini juga mati-matian untuk menambal subsidi BBM kita!
Kedua, jika memang ingin menggunakan kendaraan sendiri, gunakanlah BBM non-subsidi atau pertamax. Terasa mahal? Begitu jugalah yang dirasakan oleh negara kita ini. Ada ratusan triliun rupiah yang harus terbakar hanya untuk subsidi BBM. Dan tidak semuanya subsidi itu dihargai ataupun dimanfaatkan dengan baik.
Ketiga, kesadaran konsumen untuk menggunakan pertamax, bagaimanapun juga seharusnya disambut dengan baik oleh Pertamina yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal ini, misalnya dengan pemberian diskon atau gantungan kunci kepada para konsumen setia mereka.
Keempat, banyak dari para pemilik kendaraan yang cuek, lupa bahkan tidak tahu bahwa kendaraan mereka seharusnya menggunakan BBM yang beroktan di atas 88. Pihak Pertamina bisa menyiasati hal ini dengan mewajibkan semua SPBU untuk memasang spanduk atau layar yang berisi tentang “apa kendaraannya”, “bagaimana perbandingan kompresi mesinnya”, “berapa angka oktan kendaraannya”, dan “apa BBMnya”. Bila diperlukan pihak Pertamina bisa juga meniru tampilan larangan yang ada pada bungkus rokok. Untuk lebih menegaskan manfaat pertamax, Pertamina juga bisa menampilkan gambar mesin yang menggunakan dan yang tidak menggunakan pertamax. Dengan demikian para pemilik kendaraan semakin memahami “mengapa” mereka menggunakan pertamax.
Kelima, Pemerintah dan Pertamina harus selalu mengupayakan edukasi bagi masyarakat. Mereka tidak boleh putus asa dalam mensosialisasikan pentingnya menggunakan pertamax bagi kesehatan kendaraan, kebaikan lingkungan, dan kelancaran pembangunan negara kita. Edukasi bisa saja dilakukan dengan penyuluhan di berbagai tempat (sekolah, perguruan tinggi, ataupun di desa-desa) dan juga melalui iklan di berbagai jenis media.
Terakhir, penting bagi kita untuk menerapkan “pelajari, terapkan dan tularkan”. Pelajari artinya, sebagai anggota masyarakat dan juga konsumen pertamax kita seharusnya tidak menggunakan pertamax hanya karena yang lain menggunakan pertamax. Kita harus mencari tahu dan mempelajari semua alasan ilmiah mengapa kendaraan kita harus menggunakan pertamax dan kenapa kita harus menjadi pengguna pertamax. oleh karena itu ketika kita ditanya tentang “mengapa pertamax” maka kita akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan baik. Terapkan, artinya setelah mengetahui semua alasan mengapa kendaraan kita harus minum pertamax dan mengapa kita harus menjadi pengguna pertamax, kita sudah harus menggunakan pertamax. Tularkan artinya kita harus bisa menyebarkan kebiasaan menggunakan pertamax ke orang lain. Tentu kurang bermanfaat bila hanya sedikit dari kita yang menggunakan pertamax bukan? Misalnya bila mobil anda menghabiskan 60 liter BBM pertamax perbulannya, itu berarti anda mengurangi beban subsidi negara lebih dari Rp. 270.000, perbulannya atau Rp. 2.240.000, pertahunnya. Bayangkan jika orang lain mengikuti langkah kita dan kemudian kebiasaan mereka diikuti oleh yang lain. Semakin hari semakin banyak yang beralih ke pertamax, semakin berkurang juga beban subsidi negara.
Jadi jika kita benar-benar sayang dengan kendaraan, cinta dengan lingkungan, dan cinta dengan Indonesia, sudah saatnya kita menggunakan Pertamax! It’s time for Pertamax...
Terima kasih Pertamax, Terima kasih Pertamina, Terima kasih Indonesia...
135923122523543974
nota pembelian pertamax




Kasarnya Debt Collector Bank Danamon

Wuih… Ngeri amat hari ini rasanya!
Lagi asik2nya maen laptop tiba2 seorang laki-laki masuk ke konter pulsa yang saya jaga.
“Pak Lesman mana?” tanyanya dengan nada suara yang kurang enak didengar. Aku pun heran mendengar nama itu.
“Pak Lesman siapa bang?” tanyaku.
“Pak Lesman yang punya konter ini,” jawabnya, masih dengan nada yang kurang enak didengar juga. “Oh… Tulang Ricky maksudnya!”

Terus terang aku baru tahu kalau nama Tulang ini adalah (Pak) Lesman. Ya maklumlah, dia kan sebenarnya saudara dari kakak Ipar saya. Jadi wajar2 saja kalau saya tidak tahu. Lagian dalam masyarakat (kami) Batak rumus untuk memanggil dan menyebut orang tua adalah= sistem kekerabatan + nama panggoaran. Misalnya jika dia merupakan saudara laki-laki dari ibu saya, maka saya harus memanggilnya tulang. Dan karena biasanya panggoaran diambil dari nama anak pertama maka kami akan memanggilnya dengan Tulang + nama anak pertama. Dan contohnya adalah Tulang Ricky. Jadi jangan heran jikalau kami, terlebih para generasi muda, tidak terlalu mengetahui nama paman, om, bibi, tante, (dll) kami…

Well kembali ke cerita.
“emang mau apa Bang?” tanya ku penasaran.
“Mau nagih” katanya sambil mengatakan bahwa dia dari Bank Danamon dan mencoba untuk menjelaskan rincian jumlah tagihan.
“Lah apa ga lebih baik ntar siang aja langsung ama si tulangnya?” tanya saya.
“Uda telpon aja” katanya dengan nada memerintah.
“Busyet gile bener nech orang. Baru masuk uda nyuruh2!” gerutu saya dalam hati.

Saya pun kemudian menelpon Tulang Ricky. Dari awal sampe akhir telpon pertama hanya tut tut tut yang terdengar.
“Bang ga diangkat. Ntar siang aja ke sininya. Jam 1 atau jam 2-an gitu,” kataku lagi karena telpon pertama ga diangkat juga.
“Telpon lagi cepat!” katanya dengan nada memerintah.

Setelah beberapa kali mendengar kalimat dengan nada perintah dan bentakan gitu, aku pun mengungkapkan kekesalanku. Sambil menunggu telpon diangkat, “Bang saya ini bukan anak buah di sini. Yang punya ini Tulang saya. Kalau ngomong baek-baek napa? Kayak gua anak kecil aja pake main bentak2 gitu” ucapku dengan nada kesal. Dan bukannya malah ngerti, eh malah lanjut bentak2 saya lagi. “Eh lu cari masalah lu, mau ajak berantem lu?” jawabnya dengan nada yang makin meninggi.
“Busyet… dibilang baek2 kaga ngerti juga nech orang…!!!”
Dan telpon pun diangkat. saya tidak terlalu ingat rincian utang si tulang yang dia diskusikan dengan temannya di luar yang menunggu di motor (masih sambil memegang telpon). Lagian itu kan bukan urusan saya. Dan anehnya waktu dia berbicara dengan si Tulang nadanya tidak sekasar saat berbicara denganku tadi. Owh… ternyata gara2 aku lebih muda makanya dia bentak2 gitu ya? Lagian buat apa ngeladenin orang maen otot. (maaf bukannya hendak sombong) Sia2 donk orang tua saya kuliahin saya jauh2, trus lagi ada masalah gini, langsung maen otot? Sebelum meninggalkan konter pulsa mereka meninggalkan nomor hape MONY (atasannya mungkin), dan menyuruh saya untuk mengirimkannya ke nomor si Tulang.
Beberapa menit setelah itu, seorang pemuda yang wajahnya lebih sangar datang ke konter. “Pulsa bang?” tanya saya. “Oh nggak. Maaf bang, saya Mony, yang nomor hapenya ditinggalin. “Oo…” kata saya sambil menceritakan sedikit tentang kejadian yang barusan.
“no hape abang (tulang Ricky) itu mana bang?” tanyanya padaku.
“Hape abang apa?” balasku.
“Esia Bang,” jawabnya.
“Yauda aku kasih yang nomer esianya aja ya,” dia pun langsung menelpon nomor esia si Tulang.
“Wah ga aktif bang,” katanya
“Yauda ke nomer simpati aja,” jawabku.
Dan akhirnya hapeku lah yang digunakan untuk menelpon. “Oalah…” pikirku. Tapi abang yang satu ini, walaupun tampangnya jauh lebih sangar, jauh lebih sopan waktu berbicara sama saya.

Setelah berbicara dengan si Tulang, dia pun meninggalkan konter.

Kejadian ini membuat saya terheran – heran dengan orang2 semacam ini (debt collector). Walaupun sudah dijelaskan baik2, bahwa saya bukanlah orang yang mereka tuju dan ada baiknya menunggu atau langsung menghubungi orangnya, mereka membentak saya seenaknya, seolah-olah saya yang menunggak utang. Sementara saya sebelumnya sudah mengatakan bahwa saya hanyalah seorang tamu yang sedang berlibur di Jakarta dan membantu Tulang untuk menjaga konter pulsanya. Dan saya tidak tahu-menahu masalah itu sama sekali.

Sesaat kemudian saya pun menghubungi Danamon Access Center di (021) 3435 8888 untuk menyampaikan keluhan saya. Namun layanan suara yang muncul sepertinya hanya untuk nasabah dan layanan dan permasalahan nasabahnya. Telpon pun saya tutup.

Beginikah cara Debt Collector, penagih (atau apapun namanya) Bank Danamon bekerja? Masuk dengan nada suara yang tinggi, membentak-bentak, bahkan memerintah dengan seenaknya. Yang bukan debitur aja diperlakukan seperti ini apalagi yang debitur gimana ya? Apa salahnya untuk menghubungi sang debitur (siTulang)sebelum mendatangi konter tadi?

Apakah cuma debt collector bank ini yang seperti itu cara melakukan kerjanya? Atau jangan2 semua debt collector yang begitu? Tentunya kita semua berharap tidak seburuk itu. Namun yang jelas, kasus Irjen Octa tampaknya tidak dijadikan pelajaran bagi Bank-bank saat ini untuk memberikan arahan yang benar bagi para debt-colletornya dalam melakukan penagihan.

Bule (Prancis) Sialan…

Walaupun bisa dihitung dengan jari, menjadi tourist guide buat saya merupakan hal yang menyenangkan dan membanggakan. Menyenangkan karena (terus terang) bisa makan gratis dan puas rasanya jika merasakan uang keringat sendiri hehehe… Membanggakan karena secara langsung kita dapat mendengar dan melihat kekaguman mereka akan peninggalan sejarah, kekayaan alam dan keragaman budaya Indonesia kita. “Wow… It’s really beautiful!” pasti dan selalu terucap saat aku membawa mereka ke Pantai Parang Tritis. “Wow… This Church is really great!!!” ucap mereka saat aku membawa mereka ke Gereja Katolik Ganjuran, Gereja yang memiliki paduan arsitektur Eropa, Jawa, dan Hindu ini. Dan banyak lagi ungkapan pujian akan kekaguman mereka pada kita. Selain itu dengan menjadi tourist guide saya juga bisa mengaplikasikan bahasa Inggris saya secara langsung. Maklum, sebagai lulusan Sastra Inggris dari salah satu kampus swasta ternama di Jogja, saya sering malu dan minder jika melihat orang-orang yang dengan lancarnya ngomong Inggris. Hehehe…
Namun tidak selamanya menjadi tourist guide itu asik. Ada hal-hal yang tidak ingin kita alami dan tidak kita harapkan yang membuat kita malu dan bahkan kewalahan ketika sedang bersama turis yang kita pandu. Hal inilah yang saya alami saat saya menemani seorang bule Prancis selama beberapa hari awal Juni yang lalu.

Namanya Bruno CA JxxX. Kami sebenarnya sudah cukup lama berkenalan. Lewat facebook dia mengungkapkan rencananya untuk mengunjungi beberapa daerah di Indonesia dalam rangka pengembangan fair tourism dan fair trade.  Karena di saat kedatangannya kuliah saya sudah selesai, saya pun menawarkan diri saya untuk menjadi  tour guidenya, dan syukurnya dia menerima. Saya pun semangat karena membayangkan betapa asiknya keliling Indonesia bersama bule.
Beberapa bulan kami selalu menyapa hingga muncul kemudian keragu-raguan akan keseriusannya untuk menjadikan saya sebagai tour guidenya. Bagaimana tidak, setiap kali ditanyakan mengenai  rincian perjalanannya dia selalu menjawab, “I don’t know yet. It’s impossible to know now.” Dan kecurigaan saya pun bertambah karena saat saya menawarkan diri untuk menjemputnya di bandara Soeta Jakarta dia mengatakan, “No need, a good friend of mine will pick me up. thanks.” Jawabannya membuat saya agak kaget karena sebelumnya dia sudah bercerita bahwa hanya sayalah temannya berkomunikasi selama ini. Akhirnya saya pun memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengannya. Saya yang saat itu sudah tinggal dan kos di Solo kemudian memutuskan untuk membeli tiket kereta ke Jakarta.

Sehari sebelum keberangkatan saya ke Jakarta (28 Mei) tiba-tiba saya mendapat sms dari Bruno yang menyatakan bahwa dia sedang berada di Bali. Saya pun kaget (lagi). Soalnya dulu dia bilang dia akan meng-sms saya begitu sampai di Soeta. Itu berarti dia sudah beberapa hari ini dia berada di Indonesia dan tidak menepati janjinya. Dia pun mengatakan bahwa dia akan terbang esok paginya  (29/5) ke Jogja dan meminta saya untuk menjemputnya pagi-pagi. Setelah pikir-pikir, entah kenapa, saya pun memutuskan untuk mengiyakannya.

Esok subuhnya saya pun langsung menuju stasiun Balapan dan menaiki kereta Pramex. Seturunnya di stasiun Maguwo saya pun langsung menghampirinya. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang sebentar kami pun langsung menuju Sosrowijayan untuk mencari penginapan. Sesampainya di penginapan kami kemudian menyusun kegiatan dari pagi sampai sore (sebelum saya berangkat ke Jogja). Kami pun sarapan, berkeliling malioboro, menukar uang, dan membahas fair trade dan fair tourism, dsbnya. Pada saat kebersamaan itu saya juga menyinggung apa yang dijanjikannya sebelum kedatangannya ke Indonesia dengan begitu saya tidak perlu membeli tiket ke Jakarta.
Dan karena tiket sudah terlanjur dibeli saya pun mengatakan bahwa saya akan mempersingkat kunjungan saya ke Jakarta dan akan kembali tanggal 4 juni untuk menemaninya mengunjungi beberapa tempat, terutama di mana fair tourism dan fair trade dikembangkan di Jogja.
Well, tanggal 4 Juni saya pun sampai di Jogja. kali ini saya harus menuju kawasan Prawirotaman, tempat penginapan barunya. Mulai saat inilah saya akan lebih lama menghabiskan waktu bersama Bruno. Dan mulai di sinilah muncul rasa-rasa tidak nyaman yang tidak saya inginkan.
Hari pertama kami, dengan motor sewaan, pergi menuju daerah Banyuraden. Kami ingin mengunjungi suatu tempat pengolahan sampah plastik menjadi barang ketrampilan tangan. Ini merupakan kali pertamanya saya ke sini. Berhubung tempatnya rada terpencil, saya pun bertanya kepada orang-orang mengenai tempat yang saya cari. Begitu tempat hampir ditemukan, eh si Bruno malah bilang, “I think we waste too much time. We just go back now!”.

“Lha kok jadi gini nich bule,” pikir saya. Walau saya sudah bilang tempatnya dekat lagi dia tidak peduli. “Why do we waste too much time?” tanyanya lagi. “Busyet… emang cari tempat ini gampang apa… Ya namanya biar dapet ya harus nanya lah. Masa gara-gara tanya dibilang nyia-nyianin waktu! Of course it is not.” kataku padanya. Akhirnya kami pun pulang dengan saya menyimpan rasa jengkel dalam hati. “Rumahnya uda dapet, tinggal masuk, masak minta pulang!” perjalanan selama 1 jam pun terasa sia-sia.

Esoknya, sesuai dengan rencana, kami menuju perkebunan Buah Naga di daerah Glagah. Perjalanan ke sini membutuhkan waktu 2 jam dengan motor. Sesampainya di sana, lagi-lagi ini bule ini mencari masalah. Dia protes terhadap retribusi yang dikenakan untuk masuk kawasan itu. Walaupun saya sudah menjelaskan bahwa itu merupakan retribusi resmi untuk masuk kawasan wisata, dia tetap ngotot untuk tidak membayar. “Ya udah mas, daripada masnya repot, masuk aja ga usah bayar gapapa kok!” kata salah seorang petugas pada saya. “Bukan gitu masalahnya mas. Ini bule dari kemaren udah reseh. Kalo di negara dia masuk ke tempat wisata gratis, ya jangan disamain dengan di sini. Kalo lagi di sini ya ikut aturan di sini!” kataku pada mereka. Bagaimana tidak, masa hanya gara-gara retribusi yang cuma 8 ribu rupiah harus berdebat dengan petugas? Ga lucu banget menurut saya. Walau berulang kali saya menegaskan bahwa retribusi itu wajib dan resmi dia tetap tidak mau bayar dan akhirnya bilang, “Let’s go back now!”

“What the…!!!” pikir saya. Ini bule betul2 gila kali ya… Bayangin aja, perjalanan dari Jogja dengan motor itu makan waktu 2 jam. “Masa gara-gara 8 ribu perak, begitu sampe dia langsung minta pulang. Ga ngerasain capeknya bawa motor apa!!!” hatiku mulai geram. Sebelumnya, saat berjalan-jalan di daerah Malioboro Jogja, saya juga sempat merasa malu. Masa tukang parkir aja diajak berdebat gara-gara duit parkir yang cuma seribu perak. Begitu juga saat makan di restoran, dia juga berdebat dengan pihak restauran gara2 PPN 10%. “We don’t pay like this in my country!” katanya. Walau sudah dijelaskan dirinya ternyata susah dibuat untuk mengerti.

Akhirnya kami pun pulang menuju penginapan. Sesampainya di penginapan aku pun langsung mengungkapkan kekesalanku. Dan anehnya dia mendengarkan tanpa merasa bersalah sama sekali. Kejengkelanku pun memuncak. Aku pun membentaknya dan mengatakan bahwa aku akan meninggalkannya besok pagi. Aku malu kalau harus melihat dia berdebat.

Setelah puas mengekspresikan rasa kekesalan, rasa menyesal pun menghampiri saya. Terlebih dengan tingkahnya yang mendiami saya selama semalaman penuh. Akhirnya esok paginya saya senyum dan menyapanya. Saya bilang kalau kemarin itu saya tidak terlalu serius untuk meninggalkannya. Dan setelah berbincang-bincang beberapa lama, kami pun memutuskan untuk melakukan perjalanan.
Kali ini kami menuju Kaliurang. Dia ingin melihat Puncak Merapi dari Kali Adem. Selesai memakirkan kendaraan, kami langsung menanyakan kepada masyarakat setempat bagaimana kami bisa mencapai Kali Adem. Dan ternyata harus menggunakan jasa ojek maupun jeep sewaan. Lagi, Bruno bilang, “Let’s go back!” Sifat pelitnya terlihat kambuh lagi. Dan sifat pelitnya mengalahkan rasa pengertian bahwa mengendarai motor itu sangatlah melelahkan. Kami pun pulang menuju penginapan.

Daripada makan ati liat bule yang sialan dan bau kayak gini, akhirnya saya pun memilih untuk kembali ke Jakarta dan mengubur mimpi untuk keliling Indonesia. Sorenya saya pun pamit. Dan seperti yang saya duga sebelumnya, saya hanya mendapat ucapan “terimakasih”.
Berdebat dengan petugas pos retribusi pariwisata, tukang parkir, pelayan restauran membuatku berkata dalam hati, “Mudah-mudahan ini bule sadar akan perbuatannya…